Sejarah bercocok tanam memang sudah banyak penelitian dari berbagai peneliti dalam ranah disiplin ilmu yang berbeda-beda. Namun dalam catatan sejarah Indonesia, terdapat beberapa daerah dengan tradisi cocok tanam yang unik, tak terkecuali dengan masyarakat Madura.
Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura (1850-1940)“ menyebutkan, di dalam tradisi bercocok tanam masyarakat Madura sangatlah unik. Keunikan tersebut terletak pada bagian-bagian tertentu yang bisa kita jumpai hingga saat ini.
baca juga: Peran Pengusaha Kretek Bagi Perkembangan Organisasi Islam di Kudus Abad 20
Sejarah Bercocok Tanam Masyarakat Madura Tahun 1900- an
Berikut penjelasan 5 sistem unik berkebun masyarakat Madura tahun 1900-an yang pastinya belum anda ketahui. Silahkan simak penjelasan lebih lanjut dibawah ini.
Kurang Berkembang Dibandingkan Jawa
Menurut Kuntowijo dalam buku yang sama (2002 : 45) menyebutkan, jika di Madura cara bercocok tanamnya kurang berkembang dibandingkan dengan cara bercocok tanam yang ada di Jawa.
Beberapa data sejarah juga menunjukkan sekitar tahun 1900-an teknik pembibitan model plot di sawah kurang berkembang.
Sementara sistem penanaman dengan menggunakan teknik uritan hampir merata di Jawa. Sedangkan di Madura hanya dipraktikkan dalam skala yang kecil.
Para masyarakat agraris di Madura hanya mengetahui sistem bertani menggunakan teknik sebaran, namun sistem yang mereka terapkan hasilnya selalu kekurangan. Inilah salah satu bukti jika cara bercocok tanam di Madura kurang berkembang.
baca juga: Sejarah Industri Kretek dan Kontribusinya Terhadap Kemajuan Bangsa Indonesia
Lebih Akrab Menggunakan Pupuk Alam
Ciri unik bercocok tanam pada masyarakat agraris di Madura juga terlihat dalam hal penggunaan nutrisi pupuk untuk tumbuhan pangan yang cenderung menggunakan pupuk alam seperti kotoran lembu.
Secara ilmiah, menggunakan pupuk alam untuk mencukupi nutrisi tumbuhan pangan, seperti padi dan biji-bijian lain adalah termasuk upaya manusia untuk menghasilkan makanan yang sehat.
Sementara menurut penelitian sejarah bercocok tanam oleh Kuntowijoyo menyebut, penggunaan pupuk alam yang berasal dari kotoran lembu disebabkan oleh karena masyaraka di Madura memiliki jumlah lembu atau sapi yang cukup banyak.
Maka dari itu kotoran yang berasal dari hewan tersebut bisa dimanfaatkan sebagai pupuk gratis dan alami.
Menanam Padi di Tegalan
Tegalan adalah lahan yang berbentuk kebun alias bukan sawah. Sebagian orang menyebutnya dengan lahan/sawah kering.
Masyarakat agraris Madura memiliki kebiasaan menanam padi di tegalan. Penanaman tersebut berlangsung selama musim hujan. Dalam bahasa Madura, pola berladang seperti itu bernama gagaranca.
Teknik Penanaman Ganda
Masyarakat agraris di Madura juga sering menggunakan teknik penanaman Ganda pada bidang pertaniannya. Namun, sebagai catatan, praktik penanaman ini dikerjakan bila memungkinkan. Artinya, teknik penanaman ini merupakan cara bercocok tanam musiman.
Bercocok tanam seperti ini sangat mudah kita jumpai apabila di wilayah Madura sudah menginjak musim hujan.
Sementara itu, teknik penanaman Ganda adalah suatu sistem bercocok tanam dua jenis tumbuhan dengan cara membagi lahan saat musim hujan berlangsung.
Teknik ini untuk meraup keuntungan ganda dalam satu kali panen. Sebab, Madura memiliki curah hujan yang relatif rendah daripada dengan pulau Jawa.
Dengan cara penanaman ini, daerah Madura bisa memanfaatkan musim sebagai peluang bisnis hasil pertanian.
Jenis Bibit Padi dengan Masa Pertumbuhan Singkat
Keunikan lain dalam tradisi bercocok tanam masyarakat agraris Madura juga terbilang langka. Sebab mereka terbiasa menggunakan jenis bibit padi dengan masa pertumbuhan yang singkat.
Hanya sedikit yang masyarakat di Madura yang memiliki dan menggunakan bibit dengan masa pertumbuhan yang lama.
Hal ini karena keterbatasan persediaan air yang cenderung langka di Madura, lebih tepatnya jumlah curah hujan yang relatif rendah.
Oleh sebab itu, maka kebanyakan petani akan memilih jenis bibit padi yang memiliki waktu cukup singkat menuju panen. Ini bertujuan untuk menghindari gagal panen karena jumlah curah hujan yang sangat jarang menghampiri tanah Madura.
Pandai menyesuaikan diri dengan Alam
Sebagai bahan refleksi dari sejarah bercocok tanam di Madura, ternyata masyarakat agraris di sana sangat pandai menyesuaikan diri dengan alam.
Masyarakat agraris Madura adalah kelompok masyarakat yang hebat dan cerdas. Mereka bisa menyesuaikan diri dengan alam di tengah keterbatasan.
Risiko kekurangan persediaan air tidak akan menjadi halangan yang begitu berat, sebab jiwa keras orang Madura yang gigih dalam bekerja terutama bercocok tanam akan mereka lakukan dalam kondisi apapun.
Semangat orang Madura pada tahun 1900-an seharusnya patut menjadi contoh setiap golongan masyarakat yang ada di Indonesia. (Erik/R6/HR-Online)