Gas vulkanik di bulan Jupiter mempunyai atmosfer tipis yang runtuh dalam bayangan Jupiter. Selain itu, juga terkadang mengembun sebagai es.
Menurut studi baru para peneliti yang mendapat pendanaan dari NASA, bulan Jupiter mengeluarkan gas. Para peneliti mengungkap tentang efek pembekuan bayangan Jupiter. Terjadi selama gerhana harian pada gas vulkanik bulan.
Baca Juga: Sinyal Radio FM dari Jupiter Benarkah Milik Alien? Ini Fakta Sebenarnya
Penelitian Gas Vulkanik di Bulan Jupiter yang Fluktuatif
Fenomena luar biasa ini baru pertama kalinya ditemukan para ilmuwan secara langsung. Hal ini akan memberikan wawasan mengenai bulan yang aktif secara geologis.
Melansir dari nasa.gov, terdapat objek yang aktif secara vulkanik di tata surya. Gunung berapi berasal dari pemanasan yang pasang surut. Selain itu, merupakan hasil dari gaya gravitasi Jupiter dan bulan lainnya.
Constantine Tsang, seorang peneliti dari Southwest Research Institute di Boulder, Colorado. Hasil studinya tentang gas vulkanik di bulan Jupiter telah terbit dalam Journal of Geophysical Research.
Kekuatan daya gravitasi akan menghasilkan aktivitas geologis seperti gunung berapi. Gunung memancarkan bulu layaknya payung gas sulfur dioksida. Panjangnya mencapai 300 mil atau sekitar 480 kilometer.
Hasilnya berupa ladang lava basaltik luas dan dapat mengalir hingga ratusan mil. Atmosfer bulan Jupiter didominasi oleh gas sulfur dioksida. Sumber utamanya berasal dari aktivitas vulkanik.
Perubahan atmosfer terjadi di planet raksasa Jupiter. Setelah gas dipancarkan dari gunung, kemudian runtuh sebagai SO2 membeku ke permukaan sebagai es.
Lalu akan pulih saat es hangat dan luhur. Berubah dari padat kembali ke gas saat bulan bergerak kelar. Pergerakan tersebut dari gerhana kembali ke sinar matahari.
Baca Juga: Foto Planet Jupiter Paling Detail, Banyak Fakta Terungkap
Teleskop Gemini dan TEXES
Riset besar penelitian gas vulkanik di bulan Jupiter memakai teleskop Gemini North 8 meter besar di Hawaii. Dukungannya adalah instrumen Texas Echelon Cross Echelle Spectrograph atau TEXES.
Ketika suhu turun dari -235 derajat Fahrenheit di bawah sinar matahari menjadi -270 derajat Fahrenheit saat gerhana. Jadi, atmosfer Jupiter mulai mengempis.
Pada setiap dua jam terjadi gerhana. Saat gerhana penuh, atmosfer efektif akan runtuh. Hal ini karena sebagian besar gas sulfur dioksida mengendap jadi embun beku di permukaan bulan.
Kondisi akan kembali berkembang saat permukaan mulai hangat. Saat bulan kembali, maka sinar matahari penuh. Gas vulkanik di bulan Jupiter keadaannya runtuh dan mengalami perbaikan yang konstan.
Sebagian besar atmosfer berasal dari sublimasi SO2 es. Meskipun gunung berapi di Jupiter hiperaktif, namun jadi sumber utama SO2. Tiap hari sinar matahari mengontrol tekanan atmosfer dengan suhu es di permukaan.
Sebelum melakukan penelitian, tidak ada pengamatan langsung tentang atmosfer di Jupiter. Saat terjadi gerhana, atmosfer Jupiter sulit diamati dalam kegelapan bayangannya.
Namun, adanya TEXES dapat mengukur atmosfer memakai radiasi panas. Tapi bukan dari sinar matahari. Sementara untuk teleskop Gemini dapat mengetahui tanda pesan samar atmosfer Jupiter yang mengalami keruntuhan.
Dampak Atmosfer Akibat Aktivitas Vulkanik
Para astronom menggunakan ALMA untuk membuat snapshot bulan saat melalui masuk dan keluarnya bayangan. Tujuannya untuk membedakan antara berbagai proses yang memunculkan atmosfer dan gas vulkanik di bulan Jupiter.
Bulan akan masuk ke bayangan Jupiter dan keluar dari sinar matahari secara langsung. Jika gas sulfur dioksida dingin, maka akan mengembun ke permukaan. Dalam jangka waktu tersebut, sulfur dioksida bisa terlihat.
Baca juga: Badai Petir di Jupiter Mengandung Amonia dan Percikan Tak Terduga
Dengan demikian, para peneliti dapat melihat berapa besar dampak atmosfer karena aktivitas vulkanik. Resolusi dan sensitivitas dari ALMA membuahkan hasil. Secara jelas, bulu sulfur dioksida dan monoksida naik dari gunung berapi.
Para astronom dapat menghitung gunung berapi yang aktif dapat menghasilkan 30% sampai 50% atmosfer. Pada penelitian sebelumnya Jupiter telah dikunjungi dengan pesawat ruang angkasa. Robot tersebut memberikan pandangan yang sangat detail. Akan tetapi, pengamatan hanya sekilas saja.
Joe Pesce, direktur dari program di Divisi ilmu Astronomi NSF menyatakan jika pengamatan dari Bumi akan membutuhkan studi yang lebih lama.
Teknologi canggih dibutuhkan untuk meningkatkan pengamatan. Sehingga dapat terungkap berbagai kejadian di alam semesta ini, seperti gas vulkanik di Bulan Jupiter. (R10/HR Online)