Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Ciamis, Yuyun Wahyudi menegaskan, bahwa video pengakuan oknum jaksa yang menerima suap dalam kasus sidang Habib Rizieq Shihab (HRS) merupakan hoaks.
“Sesuai dengan surat siaran pers Kapuspenkum Kejagung RI Nomor : PR- 246/81/K.3/Kph.3/03/2021, perihal pengakuan seorang jaksa yang menerima suap kasus sidang HRS itu tidak benar. Dan berita itu merupakan berita hoaks,” tegas Kajari kepada HR online, Minggu (21/03/2021).
Baca Juga : Ratusan Santri Datangi Kejari Ciamis, Desak Perlakukan Adil Habib Rizieq
Lebih lanjut Yuyun menerangkan, video yang menyebar di media sosial tentang adanya penangkapan jaksa oleh Tim Saber Pungli Kejaksaan Agung, terjadi pada tahun 2016.
Sehingga, kasus tersebut tidak ada kaitannya dengan proses sidang Muhammad Rizieq alias Habib Rizieq Shihab, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
“Kasus penangkapan oknum jaksa memang ada, dan itu terjadi pada tahun 2016,” terangnya.
Yuyun menambahkan, oknum jaksa tersebut terlibat dalam kasus pemberian suap penanganan Tindak Pidana Korupsi penjualan tanah Kas Desa. Adapun oknum jaksa yang terima suap tersebut terjadi di Desa Kali Mok, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
“Jadi saya tegaskan kembali, video oknum jaksa dalam kasus tersebut tidak ada kaitannya dengan sidang HRS,” katanya.
Yuyun berpesan kepada masyarakat Kabupaten Ciamis, untuk tidak mudah percaya dan terprovokasi dengan berita yang tidak jelas sumbernya. Selain itu, lebih bijak lagi dalam menggunakan platform media sosial.
“Ketika mendapatkan informasi harus mengecek terlebih dahulu. Apakah keberadaan berita tersebut benar atau hoaks,” ujarnya.
Sebab, sambungnya, ketika ada seseorang yang menyebarkan berita hoaks, maka dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016. UU tersebut tentang perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008, yaitu tentang informasi dan transaksi elektronik.
“Jadi, dalam Pasal 45a, ayat 1, berbunyi setiap orang, yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dipidana penjara 6 tahun, dan denda paling banyak satu miliar rupiah,” pungkasnya. (Fahmi/R5/HR-Online)
Editor : Adi Karyanto