Berita Pangandaran, (harapanrakyat.com),- Sebelum ada bidan di setiap desa, para ibu hamil di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, ditolong oleh seorang Guguni saat proses melahirkan.
Guguni inilah yang mendampingi ibu hamil dari mulai usia kehamilan menginjak 4 bulan sampai kelahiran bayi. Bahkan sampai prosesi cukur rambut dan injak tanah.
Saat ini meskipun sudah ada bidan, namun Guguni atau orang yang menolong proses kelahiran ini masih dibutuhkan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di perkampungan Pangandaran.
Nenek Juminah, seorang Guguni yang sudah berusia 80 tahun menceritakan pengalamannya menjadi seorang Guguni sejak tahun 1982.
Perempuan yang tinggal di Dusun Bontos, Desa Cintaratu, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat tersebut kini beralih profesi menjadi tukang pijat karena faktor usia.
“Zaman sudah modern, orang yang mau melahirkan memerlukan bidan, tidak lagi perlu Guguni,” ujar nenek Juminah, Minggu (7/3/2021).
Nenek Juminah menjelaskan, terdapat perbedaan antara bidan dan Guguni dalam proses kelahiran seorang bayi.
“Dulu, saat ibu hamil kandungannya sudah empat bulan mendatangi Guguni. Biasanya minta arahan agar kandungannya sehat dan lancar sampai melahirkan,” jelasnya.
Saat usia kehamilan empat bulan, Guguni seringkali diundang untuk acara selamatan empat bulanan atau dikenal dengan istilah ‘nupati’.
“Saat nupati itu dipercaya saat pencipta alam semesta Allah SWT memberikan sumpah ke roh sebelum ditempelkan kepada jasad,” katanya.
Selanjutnya pada usia kehamilan tujuh bulan ada ijab qobul sebagai tanda serah terima ke Guguni, saat itu ibu hamil dan keluarganya mempercayakan proses lahiran kepada Guguni.
“Guguni ini penting bukan hanya saat proses kelahiran, tetapi juga menjelang proses kelahiran bayi. Tanggung jawabnya besar,” katanya.
Guguni di Pangandaran Jalankan Tradisi Saat Kelahiran Bayi
Nenek Juminah mengaku sangat bahagia apabila bisa menolong ibu hamil melahirkan dengan selamat dan bayinya juga sehat.
“Saat baru lahir, tugas Guguni itu memandikan bayi dan memberikan ‘papatah hirup’ sebelum memandikan bayi sambil membaca doa,” katanya.
Papatah atau nasihat tersebut dalam bahasa Sunda. “Ulah kabawa ku sakaba-kaba, boga irung ulah saambeu-ambeuna. Boga ceuli tong sadenge-dengena. Boga mata ulah satempo-tempona, boga biwir ulah saucap-ucapna.”
“Sudah jadi tanggung jawab seorang Guguni memandikan bayi yang baru lahir sampai tali pusarnya lepas. Istilahnya puput puseur,” terang Nenek Juminah.
Selanjutnya sampai usia bayi empat puluh hari, keluarga biasanya mengadakan cukuran dengan mengundang para tetangga untuk membaca berjanji atau deba secara berjamaah.
“Ada lagi tradisi lainnya yang jadi tanggung jawab Guguni yaitu mengusapkan kaki ayam hidup ke tangan dan kaki bayi sambil memberi papatah,” katanya.
Saat mengusapkan kaki ayam tersebut papatah yang diberikan dalam bahasa Sunda, “sing bisa mawa diri, suku ulah satincak-tincakna, leungeun ulah sacabak-cabakna.”
Berbagai tradisi yang menjadi tanggung jawab Guguni tersebut hampir punah di Pangandaran. Alasannya saat ini Guguni sudah hampir tidak ada. Kalaupun ada biasanya usianya sudah lanjut usia.
Namun, warga yang tinggal di perkampungan Pangandaran seringkali masih berusaha menjalankan tradisi menjelang maupun setelah kelahiran bayi dengan arahan dari seorang Guguni. (Ceng2/R7/HR-Online)
Editor: Ndu