Bondan Nusantara merupakan salah seorang maestro seni pertunjukan tradisional ketoprak asal Yogyakarta. Hingga saat ini ia menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah perkembangan bagi perkembangan ketoprak.
Seni pertunjukan tradisional ketoprak sendiri merupakan sebuah karya seni berbentuk teatrikal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata teatrikal yaitu berkenaan dengan seni sandiwara, banyak juga yang menyebutnya sebagai seni teater.
Kini kakek yang kurang lebih berusia 68 tahun itu masih berkecimpung dengan seni ketoprak. Kisah perjalanan hidupnya sangat inspiratif, terlebih ketika mengisahkan bagaimana di sisa umur yang sudah tak lagi muda ia gunakan untuk mempertahankan seni ketoprak.
Bondan aktif mengajar anak-anak usia dini untuk bermain ketoprak, hal ini semata hanya untuk mengabdikan diri pada ketoprak. Bondan menyadari dengan proses regenerasi pada anak usia dini maka seni pertunjukan tradisional ketoprak akan tetap eksis dan bertahan hingga pada masa yang akan datang.
Bakat Bermain Ketoprak Bondan Nusantara
Bondan Nusantara lahir di Bantul, DIY pada tanggal 06, Oktober 1952. Ia terkenal sebagai salah satu tokoh senior yang bergelar maestro seni pertunjukan tradisional ketoprak di Yogyakarta.
Bondan menceritakan awal mula ia terjun dalam dunia kesenian yaitu bergabungnya dengan grup seni pertunjukan tradisional ketoprak bernama “Dahono Mataram” pada era 70-an.
Baca Juga: Aliran Kebatinan Sapta Darma di Yogyakarta, Berawal dari Tukang Cukur
Saat bermain ketoprak untuk pertama kalinya, ternyata Bondan baru lulus pendidikan di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Menurut pengakuan Bondan, bakatnya bermain ketoprak ternyata ia peroleh dari darah kedua orang tuanya yang saat itu juga adalah pensiunan pemain ketoprak legendaris di Yogyakarta. Adapun kedua orang tua Bondan bernama Suyatin dan Kadariah.
Bondan sangat bersemangat dalam mempertahankan ketoprak salah satunya karena peninggalan dari kedua orang tua. Hal ini ia buktikan dari prestasi yang banyak diperolehnya dalam perlombaan ketoprak.
Selain bermain ketoprak, ternyata Bondan Nusantara juga merupakan penulis sekaligus sutradara produktif untuk seni ketoprak di TVRI era tahun 1980-1990- an di Yogyakarta.
Sejarah Ketoprak Berawal dari Budaya Petani di Pedesaan
Bondan menceritakan, seni pertunjukan tradisional ketoprak lahir dari ekspresi masyarakat agraris pada era kerajaan Mataram sekitar tahun 1755.
Sementara Handung Kus Sudayarsana dalam bukunya berjudul “Kethoprak” (1989:9), mengungkapkan bahwa sejarah ketoprak lahir pertama kalinya di Surakarta, Jawa Tengah. Namun tumbuh dan berkembang di Yogyakarta pada tahun 1930-an.
Handung mengungkapkan, “Lakon ketoprak pertama kali dibawa oleh Raden Mas Tumenggung Wreksodiningrat untuk mempopulerkan seni ketoprak di kalangan para petani”.
Pada umumnya para seniman ketoprak berpendapat, kata ketoprak berasal dari bunyi “prak-prak”. Bunyi tersebut timbul dari alat pengiring pertunjukan yang membunyikannya dengan cara memukul-mukulnya seperti kentungan.
Baca Juga: Kisah Bung Karno Saat Jadi Seniman Teater dan Penulis Naskah Drama
Bondan Nusantara menambahkan, secara luas ketoprak pada masa itu mempunyai fungsi sebagai bentuk ekspresi masyarakat agraris yang berguna untuk menghibur petani ketika berladang.
Sejalan dengan Bondan, Wijaya dkk, dalam buku berjudul “Kelahiran dan perkembangan Ketoprak” (1977: 97), menegaskan, ketoprak lahir dari permainan warga desa yang sedang menghibur diri.
Cara menghibur diri tersebut sangat unik, yakni dengan menabuh lesung dan kentongan secara berirama saat bulan purnama tiba. Selain itu, nama ketoprak juga berasal dari bunyi yang terdengar saat orang-orang menabuh alat musik pengiring bernama Tiprak.
Terinspirasi dari Buku Pramoedya Ananta Toer dan YB. Mangunwijaya
Berdasarkan wawancara Bondan dengan Radio buku pada tahun 2012, terungkap upaya Bondan mempertahankan eksistensi ketoprak ternyata terinspirasi dari buku. Buku tersebut adalah “Tetralogi Buru” karya Pramoedya Ananta Toer, dan “Genduk Duku” YB. Mangunwijaya pada tahun 1990-an.
(Sumber ini diperoleh dari: Arsip wawancara dengan Bondan Nusantara dalam Buletin Suara Buku berjudul “Ketoprak Belum Mati” (Vol 1. Th 1, 2012).
Buku Tetralogi Buru karya Pram menurutnya memberikan ide serta gagasan perlawanan yang populer di kalangan para remaja dan pemuda saat itu.
Peluang ini kemudian tidak Bondan sia-siakan. Ia mencoba mengkombinasikan penulisan naskah ketoprak dengan semangat alur cerita Pram dengan tujuan menjadi populer sebagaimana Pram menyemangati anak muda.
Begitupun dengan Genduk Duku karya YB. Mangunwijaya. Menurut Bondan buku tersebut memiliki semangat perlawanan dan populer pula di kalangan pemuda era 90-an.
Dengan demikian, upaya mempertahankan seni ketoprak yang dilakukan Bondan Nusantara setidaknya terinspirasi dari dua buku populer dari para penulis yang terkenal saat itu. (Erik/R7/HR-Online)
Editor: Ndu