Membahas sejarah tradisi nelayan Pangandaran ternyata menarik. Peneliti IPB berpendapat bahwa pesatnya perkembangan pariwisata Pangandaran, berdampak pada memudarnya tradisi para nelayan yang ada sejak lamasecara turun temurun.
Sejarah Tradisi Nelayan Pangandaran Memudar
Elbie Yudha Pratama, Dkk, dalam penelitiannya berjudul “Impact of Tourism Development and Fisherman Attitudes in Pangandaran Village” (Jurnal Penyuluhan, Maret 2013), menyebut bahwa pengaruh pariwisata yang pesat berdampak pada memudarnya tradisi nelayan lokal. Selain itu juga berdampak pada perubahan gaya hidup nelayan.
Secara umum perkembangan pariwisata Pangandaran berdampak positif bagi kehidupan ekonomi masyarakat yang terbantu karena wisatawan.
Akan tetapi, pariwisata Pangandaran yang terus berkembang, memberikan pengaruh negatif pada nilai-nilai budaya. Salah satunya pada budaya nelayan dalam tradisi melaut.
Hal ini terjadi karena terdapat nilai-nilai budaya masyarakat yang terbentuk dari lingkungan sekitar. Pariwisata yang berkembangan cukup lama secara tidak langsung menyebabkan memudarnya tradisi masyarakat lokal seperti kehidupan nelayan di Pangandaran.
Tradisi Melaut Nelayan pada Hari Tertentu Semakin Ditinggalkan
Elbie Yudha Pratama, pun menyoroti tentang sejarah tradisi melaut nelayan Pangandaran. Dalam penelitiannya, masyarakat banyak yang meninggalkan tradisi turun temurun leluhurnya. Seperti larangan melaut pada hari-hari tertentu, hari yang sakral untuk pergi melaut adalah setiap malam Selasa dan malam Jumat termasuk Kliwon pada kedua hari tersebut.
Masyarakat Pangandaran sejak dahulu selalu meyakini dan memegang teguh kepercayaan dari nenek moyang. Bahwa setiap malam Selasa dan malam Jumat tidak boleh pergi melaut. Apabila ada yang melanggar maka akan celaka atau mendapatkan musibah dalam berbagai bentuk.
Baca Juga: Sejarah Tanaman Lada, Komoditi Mahal dan Paling Dicari Bangsa Eropa
Larangan dari kokolot (leluhur) untuk pergi melaut tersebut bukan tanpa alasan. Larangan tersebut ternyata memberikan makna tersendiri, hari-hari tersebut menjadi kesempatan para nelayan untuk beribadah, dan disisi lain memberikan waktu bagi ikan untuk dapat berenang bebas dan beristirahat. Akan tetapi tradisi tersebut lama kelamaan menjadi semakin memudar.
Pelanggaran melaut dalam dua hari sakral itu timbul karena tuntutan perkembangan pariwisata. Hal ini memaksa nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Hal ini akan memberikan keuntungan ekonomis kepada nelayan. Hal tersebut membuat nelayan Pangandaran menjadi semakin meninggalkan sejarah tradisi nelayan yang sudah ada sejak lama oleh para leluhur Pangandaran.
Pengembangan Pariwisata Berdampak pada Gaya Hidup Nelayan
Elbie Yudha Pratama, Dkk (2013: 15) menyebut bahwa perkembangan pariwisata Pangandaran yang pesat, memberikan dampak pada gaya hidup nelayan.
Pariwisata Pangandaran menyebabkan berubahnya gaya hidup dari sebagian besar nelayan lokal terutama nelayan Juragan.
Perubahan gaya hidup pada nelayan yang terjadi seperti meninggalkan kebiasaan bersilaturahmi secara langsung. Perkembangan teknologi yang semakin pesat, maka saat ini tergantikan oleh handphone. Begitupun cara berpakaian, dan bangunan rumah yang modern.
Seperti cara berpakaian masyarakat nelayan yang mulai mengalami perubahan. Hal itu karena terpengaruh oleh cara berpakaian wisatawan asing yang datang ke Pangandaran.
Secara umum masyarakat Pangandaran menganggap wisatawan asing yang datang sebagai panutan yang kemudian jadi contoh oleh sebagian masyarakat nelayan. Khususnya oleh anak-anak nelayan. Dengan adanya gaya asing tersebut, mereka kemudian mengikuti cara berpakaian yang sama.
Begitulah sepenggal sejarah tradisi nelayan di Pangandaran yang memudar akibat dari pesatnya perkembangan pariwisata dan kemajuan tekhnologi. (Erik/R9/HR-Online)
Editor: Dadang