Biografi Pangeran Diponegoro bukan hanya sekedar mengulas ketokohoan Pangeran Diponegoro. Dari biografinya, akan diketahui latar belakang sejarah meletusnya perang Diponegoro.
Tak banyak yang tahu jika perang Diponegoro ternyata dipicu oleh modernisasi Belanda yang merambah ke kraton-kraton. Modernisasi yang membuat berang Pangeran Diponegoro.
Biografi Pangeran Diponegoro
Ajat Sudrajat dalam jurnal ilmiah berjudul “Perang Diponegoro: Antara Gerakan Mahdisme dan Mistisme Islam” (Cakrawala Pendidikan, No. 1, Th XVII, Pebruari 1998: 150), menyebutkan Pangeran Diponegoro lahir di Keraton Yogyakarta pada tanggal 11 Nopember 1785. Tepat sebelum matahari terbit Jum’at Wage 7 Muharram 1200 H.
Diponegoro adalah putera sulung Hamengku Buwana III dari istri selirnya yang bernama R. A Mangkarawati. Semasa kecil Diponegoro bernama Raden Mas Antawirya, namun setelah ia dewasa berganti nama menjadi Pangeran Diponegoro. Hal ini dilakukan sebagaimana tradisi di Keraton karena Diponegoro adalah putra sulung raja.
Baca Juga: Politik Etis, Kebijakan Kolonial yang Diskriminatif
Adapun pada masa kanak-kanak dan remaja, Diponegoro banyak menghabiskan waktunya di luar istana, yaitu di desa Tegalrejo. Di bawah asuhan Ratu Ageng, istri Sri Sultan Hamengkubuwono I yang terkenal agamis, Pangeran Diponegoro mendapatkan pendidikan yang amat baik.
Hal ini pula yang menyebabkan Diponegoro mudah bergaul dengan siapapun dan dari berbagai kalangan apapun, akan tetapi ia sering bergaul dengan para santri dan ulama di sekitar Keraton.
Perwatakan ini yang membuat Pangeran Diponegoro dianggap sebagai tokoh bangsawan yang rendah hati kepada seluruh rakyatnya. Hal inilah yang membuat berbagai kalangan tak sungkan bergaul dengan putera raja yang baik dan dikenal dermawan ini.
Hal serupa diungkapkan oleh Peter Carey dalam bukunya yang berjudul “Asal-usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Shaleh” (1986: 42).
Carey menjelaskan bahwa kebiasan Pangeran Diponegoro berbeda dengan para bangsawan muda di Keraton Yogyakarta, Pangeran Diponegoro jarang sekali muncul di istana.
Ia hanya hadir ke Istana pada saat acara grebeg atau upacara perayaan Islam yang sering dilakukan kerajaan Mataram dari tahun ke tahun.
Perang Diponegoro Disebabkan oleh Modernisasi Belanda
Sejak Pangeran Diponegoro dewasa, dan mewarisi kekuasaan Hamengkubuwono III di daerah Tegalrejo, ia semakin memperhatikan perpolitikan keraton di bawah komando ayahnya itu.
Menurut Ajat Sudrajat (1998: 153), Pangeran Diponegoro mulai terlibat politik langsung di Keraton Kasultanan Yogyakarta sejak masa pemerintahan ayahnya Hamengkubuwono III.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Surabaya dan Kematian Jenderal Mallaby
Karena Pangeran Diponegoro sering tinggal di luar istana, tak jarang ia mengetahui berbagai penderitaan rakyat yang disebabkan oleh kolaborasi kebijakan pajak Keraton dan Belanda.
Lebih dari itu sebagai Ksatria Jawa, ia melihat bangsa Eropa (Belanda) telah melanggar norma-norma dan tata susila adat Jawa yang diagungkan. Perpecahan di kalangan keluarga Mataram menyebabkan lemahnya kekuasaan Hamengkubuwono III yang semakin sepuh.
Selain itu, seperti dikutip dalam buku berjudul “Sejarah Nasional Indonesia 2” (1992:151), perpecahan yang terjadi itu tidak saja melemahkan kerajaan, tetapi juga menyebabkan pengaruh modernisasi Belanda yang semakin kuat mempengaruhi keraton.
Pengaruh modernisasi yang dilakukan Belanda di istana Mataram itu misalnya, Daendels menghendaki persamaan derajat dengan Sultan pada waktu upacara kunjungan resmi yang diadakan di Keraton.
Begitupun dengan para pembesar Belanda lainnya, Daendels mengkhendaki mereka supaya diizinkan duduk sejajar dengan raja dan sajian sirih dihapuskan.
Baca juga: Kumpulan Artikel Sejarah Hindia Belanda
Begitu juga pada masa Raffles, Gubernur Hindia Belana itu meneruskan usaha yang sama terhadap modernisasi Barat di Kraton.
Keadaan yang demikian itu akhirnya menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidaksenangan di antara beberapa golongan bangsawan, termasuk Pangeran Diponegoro. Hal inilah sebagai salah satu yang menyebabkan meletusnya perang Jawa terjadi pada tahun 1825-1830.
Meletusnya Perang Diponegoro (1825-1830)
Sejak bulan Mei 1825, Pangeran Diponegoro mulai mengajak rakyat Jawa mempersiapkan diri dengan membuat senjata. Pada bulan yang sama, petinggi Belanda di Jawa bernama Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Diponegoro.
Hal ini membuat Pangeran Diponegoro semakin naik pitam karena pembangunan jalan tersebut malang melintang di area pemakaman keluarga besar kerajaan Mataram yang disakralkan oleh setiap rakyat Jawa termasuk Diponegoro.
Menurut Diponegoro, dengan adanya pembangunan jalan tersebut sudah memancing kemarahan rakyat Jawa di seluruh pelosok Mataram.
Dari adanya peristiwa itu, para gerilyawan Diponegoro mulai berjuang menggempur pertahanan-pertahanan Belanda. Dalam waktu singkat pemberontakan segera meluas ke daerah-daerah kekuasaan Mataram seperti, Bagelen, Kedu, Brebes, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Sampai seluruh Jawa dilanda api peperangan yang dipimpin oleh putera sulung Hamengkubuwono III.
Baca juga: Kumpulan Artikel Sejarah Indonesia
Menurut Peter Carey, pemberontakan Diponegoro banyak didukung oleh golongan dari lapisan masyarakat, petani, santri, ulama, dan para bangsawan kerajaan yang pro Diponegoro.
Lima belas dari dua puluh sembilan pangeran Keraton bergabung dengan Diponegoro, seperti Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Ngabehi Jayakusuma.
Begitulah sepenggal biografi Pangeran Diponegoro dan asal mula perang Diponegoro yang menarik dibahas, dan layak dijadikan sebagai pengetahuan baru. (Erik/R7/HR-Online)