Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),– Ketupat atau kupat Panawangan dikenal sebagai makanan khas dari Ciamis Utara, tepatnya makanan dari Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Makanan yang satu ini sering terhidang di atas meja makan saat hari raya Idul Fitri, maupun Idul Adha. Ketupat umumnya dipakai sebagai ‘teman’ rendang ataupun gulai pada hari raya.
Selain itu, ketupat di daerah Sunda pada umumnya juga disandingkan dengan tahu dan jadilah makanan ‘kupat tahu’. Kupat tahu sebenarnya tak jauh berbeda dengan ketoprak Jakarta. Hanya berbeda pada bagian bumbu.
Baca Juga: Ketupat dan Falsafah Hidup Orang Panawangan Ciamis
Namun, di Kecamatan Panawangan, ketupat bukan hanya ada saat hari raya semata. Kupat Panawangan bisa ditemukan kapan saja tak tergantung momen seperti hari raya.
Ketupat di daerah Panawangan sudah jadi bagian tradisi. Bahkan jadi makanan yang resepnya diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Sudah puluhan tahun, pembuat ketupat di Panawangan mempertahankan makanan khas Ciamis ini. Lalu apa bedanya dengan ketupat pada umumnya?
Ketupat dari Panawangan Ciamis ini punya rasa khas yang berbeda dibanding ketupat dari daerah lainnya. Rasanya gurih, kenyal, dan selalu membuat orang ketagihan.
Pembuat Kupat Panawangan Semakin Berkurang
Sayangnya pembuat ketupat di Panawangan kini mulai berkurang lantaran tergerus perkembangan zaman. Umumnya mereka yang masih bertahan adalah keturunan dari pembuat ketupat dari generasi sebelumnya. Memang tidak sembarangan orang bisa memproduksi ketupat dengan rasanya yang khas.
Nia Fitriani (40), misalnya, perempuan yang kerap disapa Ma Oni ini dikenal sebagai pembuat ketupat di Panawangan. Ma Oni tidak serta merta menjadi pembuat ketupat, keahlian dirinya itu didapat dari ibu mertuanya.
“Sebenarnya baru dua tahun serius membuat kupat. Karena ibu mertua sudah meninggal dunia, maka saya yang melanjutkan,” ujarnya.
Sejak menikah dengan suaminya, sang ibu mertua kerap mengajarinya membuat ketupat. Belasan tahun menikah, Ma Oni sudah bisa membuat ketupat dengan rasa tak jauh berbeda dengan ketupat yang dibuat ibu mertua.
“Sebelum ibu mertua meninggal saya sudah membuat ketupat ini, resepnya dari leluhur. Ibu mertua biasanya yang jual ke pasar,” katanya.
Ma Oni juga menuturkan, membuat kupat Panawangan tidak bisa sembarangan. Takaran beras harus sesuai, tidak boleh kurang atau lebih.
“Kalau tidak sesuai takarannya, biasanya tidak akan matang dan gagal jadi ketupat,” tuturnya.
Biasanya saat Idul Fitri dan Idul Adha, omset penjualan ketupat yang dibuat Ma Oni akan meningkat. Namun, karena pandemi Covid-19, pada Idul Fitri lalu, penjualan kupat Ma Oni justru berkurang drastis.
“Warung saya ada di jalan raya Ciamis-Cirebon, kalau sedang mudik atau arus balik banyak pembeli. Tapi saat kemarin ada larangan mudik, penjualan menurun, tidak seperti lebaran-lebaran sebelumnya,” katanya. (R7/HR-Online)