Orang Sunda perlu tahu, ternyata pada tahun 1947, segelintir kelompok yang menamakan dirinya sebagai elit atau dalam bahasa Sunda disebut menak sunda, pernah menentang berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka membangun sebuah badan organisasi politik bernama Partai Rakjat Pasundan.
Organisasi tersebut bertujuan membentuk Negara Pasundan dan menentang berdirinya NKRI. Orang sunda yang mengatasnamakan menak tersebut dipimpin R.A.A.M.M. Soeria Kartalegawa.
Lalu bagaimana proses segelintir menak sunda membentuk Partai Rakjat Pasundan, dan seperti apa akhir dari partai makar ini? Simaklah lebih lanjut penjelasan dibawah ini.
Menak Sunda Partai Rakjat Pasundan Pro Belanda
Manurut Agus Mulyana dalam buku, “Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan”, (1992: 29), menyebut Soeria lahir di Garut pada 26 Oktober 1897. Ia dibesarkan sebagai elit Sunda, yang banyak mengenyam pendidikan Belanda.
Soeria Kartalegawa, atau akrab di sapa Uca juga adalah mantan bupati Garut periode 1929-1944. Soeria mengawali karir politiknya pertama kali pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Namun statusnya sebagai menak Sunda yang terbiasa dengan kemewahan, mengantarkan Soeria pada pandangan politik yang cenderung memihak Belanda.
Baca juga: Sejarah Kopi Priangan, Komoditas Ekspor Terlaris Masa Kolonial Belanda
Seperti dikutip Sri Sutjiatiningsih dalam, “Kongres Nasional Sejarah 1996: Sub tema Pemikiran dan Analisis Teks Sejarah” (1999: 151), menyebut Partai Rakjat Pasundan pertama kali didirikan oleh Soeria Kartalegawa pada tanggal, 4 Mei 1947.
Menurut Sri, seiring dengan membentuk partai, Soeria Kartalegawa juga memproklamirkan negara Pasundan di alun-alun kota Bandung sekarang.
Sri Sutjiatiningsih pun mengungkapkan, berdirinya Negara Pasundan disebabkan oleh kecemburuan sosial Kartalegawa terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Menurutnya, hal ini bisa dilihat ketika pemerintah Republik mengangkat Gubernur Jawa Barat bukan berasal dari orang Sunda.
Mengutip Agus Mulyana dari catatan yang sama, menyebut Soeria Kartalegawa selalu mengidentikan dirinya sebagai pemimpin Partai Rakyat Pasundan (PRP). Soeria kerap menyerukan slogan partainya sebagai berikut, “Soeria Kartalegawa Adalah PRP, dan PRP adalah Soeria Kartalegawa”.
Menurut catatan Agus, Soeria Kartalegawa mengklaim PRP memiliki anggota sebanyak 250.000 orang.
Hal ini merupakan jumlah yang sangat fantastis, mengingat PRP adalah sebuah partai baru yang lahir ditengah kecamuk perang revolusi.
Akan tetapi beberapa catatan sejarah menyebut PRP mengalami banyak kemunduran. Hal ini terlihat sejak beberapa golongan menak pro republik menentang tujuan Soeria mendirikan negara Pasundan pada tahun 1947.
Partai Rakjat Pasundan Mengalami Berbagai Penolakan
Menurut Sri Sutjiatiningsih (1999: 153), menyebut semenjak Soeria Kartalegawa memproklamirkan negara Pasundan, beberapa penolakan semakin jelas terlihat.
“Banyak dari mayoritas kalangan menak Sunda yang memberikan reaksi keras dan tidak setuju atas proklamasi Kartalegawa,” ulas Sri Sutjianingsih dalam tulisannya.
Baca juga: Paguyuban Pasundan dan Peranannya pada Masa Pergerakan Nasional
Ia juga menyebut beberapa menak yang menolak diantaranya terdiri dari, keluarga besar Wiranatakoesoemah, R. Djuanda (pengurus Paguyuban Pasundan), dan kawanan menak sunda lainnya.
Mereka tidak menyetujui negara Pasundan bentukan Kartalegawa dan Partai Rakjat Pasundan yang dinilai pro Belanda. Menurut mereka mendukung pemerintahan pusat RI adalah langkah terbaik orang Sunda dalam meraih kemenangan.
Mengapa mereka berpendapat demikian?
Menurut R. Permana, Dkk dalam, “Inventaris Arsip Statis: Pemerintah Negara Pasundan periode 1947-1950,(2014: 6), menyebut negara Pasundan adalah sebuah negara yang didirikan oleh Belanda pada tanggal 24 April 1948.
Adapun R. Permana menyebut letaknya terdiri dari bagian barat pulau Jawa, dan hampir seluruh kota di daerah Bandung.
Namun belakangan menurut catatan yang sama (2006:6), menyebut Kartalegawa telah berkolaborasi lebih awal dengan van Mook, dan mendirikan Partai Rakjat Pasundan di Bogor. Pembentukan PRP juga ternyata di prakarsai oleh eks Perwira KNIL, Kolonel Santoso yang sekaligus menjabat sebagai penasihat van Mook.
Hal inilah yang kemudian memunculkan penolakan dari berbagai kalangan menak Sunda yang berpihak pada Republik Indonesia. Mereka mempercayai langkah Kartalegawa sudah dipengaruhi Belanda, dan antek-antek yang anti terhadap kaum republik.
Mengutip Sri Sutjiatiningsih (1999: 153), menyebut negara Pasundan bentukan Kartalegawa tenggelam dengan sendirinya. Terlebih ketika Belanda ingkar dalam beberapa perjanjian dengan para petinggi Republik.
Menurutnya hal ini justru mendorong kelompok eks negara Pasundan atau Partai Rakjat Pasundan masuk ke dalam proses persatuan dan akhirnya bergabung serta mengakui NKRI. (Erik/R2/HR-Online)