Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Setelah diberlakukan siswa belajar di rumah akibat pandemi virus Corona yang sudah berlangsung selama sebulan ini tampaknya mengisahkan berbagai cerita. Salah satunya perjuangan seorang guru di Ciamis, Jawa Barat, yang harus rela mendatangi siswanya yang berada di daerah perbukitan dengan berjalan kaki.
Selama pemberlakuan belajar di rumah, memang tidak semua guru melakukan home visit atau mengunjungi siswa ke rumahnya. Malah kebanyakan guru menggunakan cara pembelajaran online dengan memanfaatkan fasilitas pesan WhastApp saat memberikan serta menerima tugas dari muridnya.
Namun beda ceritanya dengan siswa yang berada di daerah pelosok. Orangtua mereka tidak memiliki smartphone. Meski memiliki smartphone pun tidak bisa mengakses internet lantaran tidak ada sinyal. Kondisi ini yang memaksa guru di Ciamis ini untuk melakukan home visit ke rumah siswa.
Seperti yang terjadi di Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis. Guru yang mengajar di SDN 1 Giriharja setiap hari harus rela berjalan kaki dengan jarak 2 sampai 3 kilometer untuk menemui siswanya yang berada di daerah perbukitan atau tepatnya di kampung Citapen Landeuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Rajadesa.
Selain jaraknya cukup jauh, medan jalannya pun cukup terjal dan licin. Jalan setapak itu tidak bisa dilalui kendaraan. Hanya bisa diakses dengan jalan kaki.
Etin Rohaetin (52), salah guru di SDN 1 Giriharja, mengungkapkan, siswa yang sekolah di tempat kerjanya tidak semua berasal dari Desa Giriharja, tetapi ada sebagian siswa yang berasal dari desa tetangga, yaitu Desa Sukajaya, Kecamatan Rajadesa. “Di Desa Sukajaya juga sudah banyak sekolah. Tapi dari kampung Citapen Landeuh memang lebih dekat ke Desa Giriharja,” ujarnya.
Etin mengatakan, ketika diberlakukan belajar di rumah akibat pandemi corona, memang membuat beban mengajar semakin berat. Karena masyarakat di daerah pelosok, lanjut dia, belum semua memiliki smartphone seperti kebanyakan masyarakat di perkotaan.
“Jadi kami tidak bisa mengajar di rumah dengan cara online seperti kebanyakan guru di Ciamis lainnya. Saya bersama 3 guru lainnya setiap hari harus bergantian melakukan home visit ke rumah siswa. Tapi bagi kami tidak masalah. Selain tugas sebagai guru, juga menganggap aktivitas ini sebagai ibadah,” ujarnya.
Selain Etin, tiga guru lainnya yang setiap hari melakukan home visit adalah Iis Ratnengaih (51), Eem Maesaroh (53) dan Yayah Hidayah (50). “Sebenarnya hanya ada 8 siswa yang berasal dari Kampung Citapen Landeuh. Meski begitu, mereka pun harus sama mendapat pelayanan seperti siswa lainnya,” kata Etin.
Etin menambahkan, bagi siswa yang tempat tinggalnya terakses internet dan orangtuanya memiliki smartphone, tidak setiap hari dilakukan home visit, tetapi diberi tugas belajar melalui pesan WhatsApp. “Hanya lebih banyak yang tidak memiliki smartphone atau karena belum terakses layanan internet. Maklum di daerah pelosok,” ungkapnya.
Namun begitu, Etin mengaku ikhlas setiap hari melakukan home visit ke rumah siswa yang perjalannnya cukup melelahkan. Karena, menurutnya, siswa yang berada di kampung Citapen Landeuh pun ketika pembelajaran normal mereka rela berjalan kaki untuk sampai ke sekolah.
“Kami justru tergugah oleh spirit perjuangan mereka yang saat belajar normal setiap hari berjalan kaki dengan jarak sekitar 2 sampai 3 kilometer dari rumahnya ke sekolah. Ini pun sebagai apresiasi terhadap mereka yang selama ini berjuang untuk sekolah, meski harus berjalan kaki yang cukup jauh,” ujarnya.
Etin pun berharap siswanya yang sudah berjuang untuk sekolah agar kelak menjadi orang sukses dan berguna bagi orangtunya, agama maupun negara. “Mudah-mudahan siswa kami ini kelak menjadi orang sukses. Setidaknya bisa membangun kampung halamannya,” ungkapnya.
Sementara itu, Tatang (45), salah satu orangtua siswa, warga kampung Citapen Landeuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Rajadesa, mengaku bersyukur anaknya bisa didatangi oleh gurunya untuk belajar. Dia pun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada guru anaknya yang jauh-jauh mau datang untuk mengajar.
“Kami di keluarga memang tidak ada yang memiliki smartphone. Karena memang ekonomi keluarga kami pas-pasan hanya cukup buat makan. Selain itu di daerah ini pun belum ada sinyal handhpone. Jadi kalau memaksakan beli juga percuma,” katanya.
Tatang juga mengaku senang anaknya bisa dibimbing belajar oleh gurunya meski sekolah diliburkan akibat pandemi corona.
“Mudah-mudahan saja pandemi corona segara berakhir dan kita semua kembali beraktivitas normal. Jangankan orang yang tinggal di kota, kami yang di kampung saja jadi serba sulit akibat corona ini,” pungkasnya. (Fahmi2/R2/HR-Online)