Berita Banjar (harapanrakyat.com),- Akhir-akhir ini warga Kota Banjar, Jawa Barat, mulai resah dan kesal dengan keberadaan “bank emok” yang acapkali menjerat warga dalam kubangan rentenir.
Alih-alih mendapat solusi bantuan pinjaman dana untuk modal usaha, tapi justru malah membuat warga terjebak dalam jeratan rentenir.
Enceng, salah seorang warga Desa Rejasari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, mengungkapkan, keberadaan “bank emok” semakin hari semakin ramai dan meresahkan. Bahkan, ada sebagian warga yang merasa keberatan untuk membayar tagihan dengan sistem renteng tersebut.
Ia juga menyebutkan, terdapat beberapa warga yang kian hari kesulitan untuk membayar tagihan sampai harus menjual rumah, dan bekerja ke luar negeri untuk membayar tagihan pinjaman “bank emok”.
“Banyak warga di sini yang mengeluhkan, bahkan ada sebagian masyarakat yang terpaksa harus menjual rumahnya,” kata Enceng, kepada HR Online, Selasa (10/03/20).
Selain meresahkan, keberadaan “bank emok” juga bisa memicu terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat, mengingat sistem tanggung renteng yang diberlakukan mewajibkan setiap kelompok menanggung beban pembayaran, ketika terjadi kredit macet dalam setiap anggota kelompok.
Warga lainnya, Sugiarti, menambahkan, dari beberapa keluhan yang ada, hampir kebanyakan dialami oleh ibu-ibu rumah tangga sebagai korban pinjaman, karena mereka lebih mudah untuk dijadikan target pinjaman.
Ia berharap ada sosialisasi dan edukasi kepada warga masyarakat, tentang efek negatif dari sistem transaksi pinjam-meminjam, baik “pinjol” (pinjaman online), “bank emok”, maupun lembaga pinjaman lainnya.
“Kejadian semacam ini kan lagi marak di mana-mana. Kalau bisa ada sosialisasi dari pihak pemerintah atau pihak terkait lainnya, mengingat efek yang ditimbulkan dapat mengganggu ketenangan masyarakat,” ungkap Sugiarti.
Hindari Praktik “Bank Emok”
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Desa Rejasari, Subur Waluyo, membenarkan adanya kasus dan keluhan dari sejumlah warganya. Namun, dirinya tak bisa berbuat banyak, mengingat kasus tersebut merupakan ranah privasi.
Selain itu, ia juga membenarkan keberadaan “bank emok” yang kerap menimbulkan keresahan dan dapat memicu terjadinya kerentanan sosial di tengah masyarakat.
“Ya, kasus itu memang ada dan ramai dibicarakan. Kemarin juga sudah ada warga yang menyampaikan saat ada acara di desa,” katanya.
Menurut Subur, pemerintah desa hanya bisa memberikan alternatif melalui peminjaman lembaga resmi, dengan agunan untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai solusi.
Pihaknya pun mengimbau kepada warga masyarakat untuk berhati-hati, dan sebisa mungkin menghindari praktik “bank emok” dan sistem pinjaman online, mengingat beban bunga yang diterapkan cukup tinggi sehingga memberatkan.
“Sebisa mungkin dihindari. Kalau memang butuh untuk permodalan, pihak desa siap membantu mencarikan solusi,” tandas Subur. (Muhlisin/R3/HR-Online)