Berita Ciamis (harapanrakyat.com),- Pernyataan Ridwan Saidi yang mengatakan tidak ada kerajaan Galuh di Ciamis, prasasti di Ciamis palsu dan buatan Belanda, dan Galuh artinya brutal, disayangkan pakar sejarah yang juga Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Prof Dr Nina Herlina Lubis, M.S,
Saat menjadi pembicara dalam acar “Gelar Usik Galuh” di Aula Adipati Kusumadiningrat Setda Kabupaten Ciamis, Kamis (20/2/2020), Nina membantah pernyataan yang disampaikan Ridwan Saidi.
Dia menegaskan bahwa Kerajaan Galuh itu ada. Nina mengatakan, dirinya melakukan penelitian sejak menempuh pendidikan S1 tahun 1984 di Universitas Padjajaran, dan mengungkap tentang sejarah Kerajaan Galuh, termasuk dalam tesis yang ia susun saat kuliah S3 di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Nina pun mengaku, kembali melakukan penelitian tentang Kerajaan Galuh pada tahun 2014 dibiayai oleh Dedi Mulyadi, yang saat itu menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Penelitian tersebut dilakukan bersama sejumlah sejarawan, arkeolog, filologi (ahli naskah kuno), ahli geologi, dan melibatkan arsitek.
Penelitian yang dilakukan perempuan kelahiran Garut, Jawa Barat bersama timnya itu menguatkan bukti adanya Kerajaan Galuh yang pernah memiliki keraton di Astana Gede Kawali.
“Apa yang dikatakan Ridwan Saidi itu tidak berdasar ya, kalau alasannya melihat dari sumber kamus Armenia sampai sekarang saya tidak pernah melihat kamus itu,”ungkapnya.
Nina menyebut, memang Ridwan Saidi itu bukan sejarawan atau akademisi sejarah. Tapi dia masuknya kategori peminat sejarah. Sepengatahuan Nina, Ridwan Saidi itu S1 nya lulusan Fisip.
Menurutnya, jika Ridwan Saidi seorang akademisi atau sejarawan, tidak akan sembarangan mengeluarkan pernyataan yang mengundang kontroversi. Setidaknya, jika seseorang ingin mengungkap sejarah harus menggali dulu sumber sejarahnya.
“Ada perbedaan antara sejarawan dan peminat sejarah, karena sejarawan atau akademisi sejarah itu harus menguasai metode sejarah, metodologi sejarah dan sumber sejarah yang tak hanya satu sumber, tapi berbagai sumber yang didapat lewat penelitian langsung,” jelasnya. Sumber sejarah itu bisa berbentuk benda, tulisan, lisan, hingga sumber primer.
Terkait dengan statement Galuh diartikan brutal oleh Ridwan Saidi, Nina menyebut Ridwan Saidi menafsirkan kata tersebut berdasarkan interpretasi verbal, bukan interpretasi logis. Karena jika menafsirkan secara interpretasi logis, Ridwan pasti berfikir, masa orang Galuh menamai kerajaannya dengan artian brutal, itu tidak masuk akal.
Nina pun mengakui, jika pernyataan Ridwan Saidi ini telah meresahkan masyarakat. Pasalnya, pernyataan tersebut dianggap menghina. “Kalau mau diproses ya mangga ku urang Galuh,” tandasnya. (Jujang/R8/HR Online)