Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),– Profesor Dr. Hj Nina Herlina Lubis, M.S, sejarawan sekaligus guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran mengatakan, dalam menghadapi Ridwan Saidi tidak perlu emosional.
Hal itu terkait pernyataan Ridwan Saidi, Budayawan Betawi, yang menyebut tidak ada kerajaan di Ciamis, prasasti yang ada di Ciamis palsu buatan Belanda, dan Galuh artinya brutal.
Nina yang telah meneliti Kerajaan Galuh sejak tahun 1984 mengimbau Pemerintah Kabupaten Ciamis agar menghadapi Ridwan Saidi dengan data.
“Kalau Pak Bupati perlu menghadapi ini jangan hadapi secara emosional. Jika ingin menghadapi Ridwan Saidi yang perlu dipanggil itu sejarawan seperti saya, tim saya, kita adu data,” kata Nina, Selasa (18/2/2020) lalu.
Nina juga mengimbau para budayawan untuk mendukung dirinya, tapi bicaralah sesuai kapasitasnya masing-masing.
“Saya tonton di TV One, itu ada pak Rektor, kalau bisa menghadapinya dengan kapasitasnya masing-masing. Dia kan bukan sejarawan. Jangan ilmu sejarah itu pakai analisis bukan pakai analisis sejarah,” katanya.
Nina sendiri merupakan lulusan S1 Sejarah di Universitas Padjajaran dan menempuh pendidikan S2 dan S3 di Universistas Gajah Mada.
Nina kemudian dibiayai oleh Dedi Mulyadi, kala itu Bupati Purwakarta, melakukan penelitian terkait Kerajaan Galuh. Nina bersama para arkeolog, sejarawan, filologi (ahli naskah kuno, geologi), dan arsitek melakukan ekskavasi di Astana Gede Kawali untuk mendalami kerajaan Galuh.
Baca Juga: Ramai-ramai Membantah Ridwan Saidi (1): Indikator Ekonomi Kerajaan di Ciamis
Ekskavasi merupakan proses penggalian, pembongkaran, pemrosesan, dan pencatatan sisa-sisa arkeologis di lokasi-lokasi penemuan purbakala. Penelitiannya berakhir pada tahun 2011.
“Cobalah Pemkab Ciamis menganggarkan, karena selama ini penelitian saya itu kehabisan dana tahun 2011, tidak ada perhatian dari Pemkab,” ungkapnya.
Kerajaan Galuh Ada, Bukan Fiktif
Nina mengungkapkan penemuannya saat penelitian adalah adanya altar tempat penyembahan. Penemuan tersebut menguatkan masyarakat waktu itu memeluk agama Hindu yang bercampur dengan Sunda Wiwitan.
“Dari prasasti yang 6 yang ada di Astana Gede, membuktikan bahwa Astana Gede pernah jadi keraton, rajanya Prabu Niskala Wastu Kencana. Dia di sekeliling keratonnya membuat parit, ini bisa juga dibaca di Carita Parahiangan, bahwa di Kawali ada keraton yang bersusun lima. Masih ada sisa-sisa paritnya,” terangnya.
Dari hasil penelitiannya itu menguatkan bukti jika di Ciamis pernah ada Kerajaan Galuh, berbeda dengan pendapat Ridwan Saidi yang menyebut tidak ada kerajaan di Ciamis.
Perempuan kelahiran Garut, Jawa Barat ini menduga Ridwan Saidi tidak membaca secara lengkap. Namun, Nina mengakui Ridwan Saidi merupakan peminat sejarah yang memiliki pengetahuan yang luas.
Hak Ridwan Saidi Mengartikan Galuh ‘Brutal’
Nina juga menanggapi pernyataan pria gaek yang akrab dipanggil Babe Saidi yang menyebut Galuh artinya brutal. Dia menegaskan pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah.
“Kalau beliau berpendapat bahwa dalam bahasa Armenia Galuh itu brutal, itu hak dia untuk menyebut seperti itu. Namun perlu diingat, Ridwan Saidi bukan sejarawan akademis, ada hal-hal prinsip yang harus dipenuhi oleh seorang sejarawan. Tapi saya akui beliau peminat sejarah yang luar biasa, tapi prinsip ini beliau lupakan,” katanya.
Menurut Nina, seorang sejarawan tidak bisa mengutip satu sumber saja, namun harus mengutip juga dari berbagai sumber.
“Galuh itu salah satu artinya berarti permata, gadis cantik, artinya bagus, ada juga yang mengartikan Galuh itu nurani,” jelasnya.
Rencananya Guru Besar Universitas Padjajaran ini akan hadir dalam pertemuan “Gelar Usik Galuh” hari ini, Kamis (20/2/2020) di Aula Setda Kabupaten Ciamis.
Selain Profesor Nina, juga akan hadir Profesor Sobana, guru besar sejarah di Universitas Padjajaran. Bersama budayawan dan masyarakat Ciamis, pertemuan tersebut bertujuan untuk menyikapi pernyataan Ridwan Saidi. (Ndu/R7/HR-Online)