Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Nama Lurah (Kepala Dusun) Djuhana tak asing bagi sebagian masyarakat Desa Handapherang, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis. Djuhana merupakan salah satu Kadus di Ciamis yang pensiun dari jabatanya di usia paling tua, yakni 82 tahun.
Ketika diwawancarai Koran HR, Djuhana menyebut dirinya menjabat Kadus Cikatomas, Desa Handapherang, selama 43 tahun. Atau menjabat dari tahun 1969 sampai tahun 2012. Tercatat tiga Kepala Desa pernah menjadi atasannya di Desa Handapherang.
“Di Desa Handapherang ini sebuah rekor, Kadus di Ciamis tertua dan terlama menjabat. Mungkin se Kabupaten Ciamis juga sama, tidak akan ada yang pensiun setua saya,” ujar Djuhana, Senin (19/8/2019).
Menurutnya, Kepala Dusun atau dikenal dengan nama Lurah dulu dikenal sebagai “Pupuhu Lembur”. Tugasnya begitu mulia, yakni melayani berbagai kepentingan masyarakat.
Dulu kata Djuhana, tidak ada yang mau menggantikan posisi Kepala Dusun Cikatomas walaupun usia Djuhana sudah semakin tua. Hingga pada tahun 2012 muncul aturan kadus tidak boleh lebih dari 60 tahun, Djuhana pun berhenti sebagai Kadus.
“Alhamdulilah, banyak sekali pengalaman yang saya dapat di pemerintahan. Utamanya terkait batas-batas tanah di hutan bantaran Sungai Citanduy,” ucap Djuhana yang lahir tahun 1930 ini.
Djuhana pun sampai sekarang kerap ditanyai masyarakat kaitan batas tanah. Apalagi yang berada di hutan bantaran Sungai Citanduy. Mengingat saat ini proses pembebasan lahan proyek Bendungan Leuwi Keris, banyak pemilik tanah yang tidak tahu batas tanahnya karena kebanyakan warisan peninggalan pendahulunya.
Djuhana kini berusia 90 tahun. Dia pun dianggap salah satu saksi sejarah di masa penjajahan Belanda, Jepang, Pemberontakan DI TII, G30SPKI, yang masih hidup di Handapherang. Sayang kondisi Djuhana sudah semakin memprihatinkan, karena mempunyai riwayat Jantung sehingga aktivitasnya terbatas.
Kini Djuhana tinggal dan diurus anaknya di Dusun Cikatomas, Desa Handapherang, Kecamatan Cijeungjing. Istrinya meninggal beberapa bulan kebelakang.
Tahu Sejarah Sayang Kaak
Wana Wisata Mandiri Sayang Kaak, saat ini semakin dikenal sebagai wisata modern dengan konsep alam yang digandrungi wisatawan dari berbagai kalangan. Namun ternyata nama “Sayang Kaak” sudah ada sejak ratusan tahun lalu, sejak jaman penjajahan Belanda.
Djuhana adalah salah satu saksi sejarah yang masih hidup dan mengetahui asal-muasal nama Sayang Kaak. Menurutnya, nama Sayang Kaak diambil karena dahulunya Sayang Kaak adalah tempat tinggal dan bersarangnya burung gagak hitam (Kaak).
“Dari dulu hingga sekarang burung kaak itu masih ada, cuman jarang yang melihat karena bersembunyi,” ujarnya.
Menurut Kadus di Ciamis ini, burung kaak itu tinggal dan bersarang di dataran paling tinggi. Lokasi yang kini jadi wisata Mandiri Sayang Kaak merupakan dataran paling tinggi di Kecamatan Cijeungjing.
Makanya dahulu, di lokasi Sayang Kaak terdapat tugu sebagai tanda wilayah tersebut adalah dataran paling tinggi. Namun, beberapa puluh tahun lalu malah dibongkar karena dianggap masyarakat dibawah tugu itu ada harta karunnya.
“Setelah dibongkar tidak ada apa-apa. Namun sekarang memang terbukti jadi mutiara karena jadi tempat wisata yang bisa membangkitkan perekonomian masyarakat,” ungkapnya.
Djuhana berpesan agar bisa merawat alam, khususnya lokasi Sayang Kaak, agar tetap menjadi wilayah hijau dengan pemandangan indahnya. (Jujang/Koran HR)