Berita Ciamis (harapanrakyat.com),- Nek War adalah salah satu pembelah batu di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Ia memecah batu sungai yang dijadikan batu split (batu cor). Dia adalah salah satu yang masih bertahan dalam pekerjaan itu.
Kisah pahitnya menggeluti usaha tersebut jarang diketahui oleh warga sekitar. Dirinya mengaku hasil kerja kerasnya ini mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari tengkulak. Bahkan bisa dikatakan tertekan (dijajah). Padahal jelas Nek War bekerja membelah batu itu bukan berada di lokasi sang tengkulak.
“Nenek menekuni pekerjaan menjadi pembelah batu di Ciamis ini sejak tahun 1984. Saat itu nenek ditinggal mati oleh suami. Pekerjaan ini memang berat, belum harga jual yang hingga saat ini masih mencekik. Harga batu split buatan nenek ini hanya dibeli seharga Rp. 75 ribu perkubiknya oleh tengkulak. Padahal harga pasaran sekarang sudah sangat tinggi,” kata Nek War saat ditemui Koran HR, di pinggir Sungai Citalahab, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Selasa (21/05/2019).
Dalam sehari, sang nenek mengaku hanya bisa membuat batu split dengan jumlah yang tidak banyak. Untuk satu kubik batu split, nenek War menghabiskan waktu hingga dua minggu bahkan satu bulan.
“Karena nenek kerjanya hanya sampai lohor saja,” katanya.
Nek War mengaku selalu dipersulit. Nek War tidak boleh menjual batu kepada siapapun kecuali kepada si tengkulak. Dan jika nenek bandel menjual batu ke orang lain, maka nek War akan didatangi dan dimarahi si tengkulak.
“Jika nenek maksa menjual ke orang lain. Maka nenek tidak boleh mengambil batu dari sungai. Padahal sungai ini kan bukan milik dia,” katanya.
Dari keterangan sang nenek. kegiatan pemerasan masih terjadi meski jaman sudah merdeka. Ironisnya lagi, sang tengkulak dikabarkan selalu menekan para pembuat batu. Tengkulak juga mengancam melakukan sesuatu jika para pembuat batu menjaul batunya ke orang lain tanpa melalui perantara dirinya.
Dari pantauan Koran HR, Nek War yang kini tinggal sendirian, belum pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Padahal kondisi ekonominya sangat memprihatinkan. Untuk mencukupi kebutuhannya, Nek War harus bertahan menggeluti pekerjaan sebagai pembelah batu.
“Sebenarnya nenek suka ngiri ketika melihat orang lain setiap bulannya menerima bantuan beras dan telur. Padahal mereka hidupnya sudah cukup, bahkan lebih sejahtera ketimbang nenek. Nenek juga pernah mengeluh ke pak kuwu, tapi tidak pernah mendapat apa-apa sampai sekarang,” katanya.
Di tempat terpisah, Kepala Desa Pamarican, Endang Rahman, mengatakan, jika pihaknya sudah beberapa kali mengusulkan agar pembelah batu di Ciamis tersebut bisa menerima progam Bantuan pangan Non Tunai (BPNT).
“Saya juga heran, apa sih yang menjadi penyebabnya, sehingga usulan saya ditolak. Apakah karena rumahnya permanen atau apa. Nek War kan kondisinya sudah tua, dan hanya menempati rumah peninggalan suami,” katanya.
Soal tekanan dari tengkulak, Endang mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Soalnya, pengambilan batu dari sungai juga tidak bisa dibenarkan. Karena dianggap merusak alam. Meski begitu, Endang meminta tengkulak tidak berbuat demikian kepada Nek War.
“Saya kecewa mendengar penindasan dari tengkulak. Padahal, sungai itu juga bukan milik tengkulak,” katanya. (Suherman/Koran HR)