Berita Banjar, (harapanrakyat.com),- Keberadaan pita penggaduh jalan atau yang lebih dikenal dengan sebutan polisi tidur di sepanjang Jalan Masjid Agung, Kota Banjar, banyak dikeluhkan pengendara karena jumlahnya cukup banyak, yakni ada delapan garis, dan jumlah sebanyak itu tidak sesuai aturan.
Seperti yang diungkapkan Gita (28), warga Banjarkolot, Kelurahan Banjar, bahwa pita penggaduh jalan sejatinya dibuat agar pengendara mengurangi kecepatan kendaraan. Namun, jika dibuat secara sembarangan dan tidak sesuai aturan, tak jarang polisi tidur itu justru membuat tidak nyaman pengendara, bahkan tak sedikit memakan korban.
“Di sepanjang jalan Masjid Agung terlalu banyak polisi tidur, dan itu sangat jelas membuat pengendara tidak nyaman,” ungkap Gita, kepada Koran HR, Selasa (22/04/2019).
Hal serupa dikatakan, Edi (49), warga Banjar lainnya. Menurutnya, keberadaan pita penggaduh jalan di lokasi tersebut memang membuat tak nyaman para pengendara. Terlebih keberadaannya dibuat terlalu tinggi dan kerap membahayakan pengendara, terutama sepeda motor dan becak.
“Jalan Masjid Agung merupakan jalan kota dan bukan jalan lingkungan atau jalan kelas C. Jadi, pita penggaduh jalan itu lebih baik dibongkar saja,” ujar Edi.
Keberadaan polisi tidur di Jalan Masjid Agung itu memang menuai pro dan kontra di masyarakat. Menurut beberapa warga di Lingkungan Cibulan, Kelurahan Banjar, Kota Banjar, sejumlah pengendara, terutama pengemudi sepeda motor sering kebut-kebutan dan justru malah mengancam keselamatan warga sekitar, khususnya warga yang rumahnya dekat dengan jalan.
“Dipasangnya polisi tidur ini adalah untuk memperlambat kecepatan para pengendara, lantaran dulu juga pernah ada seorang warga sekitar yang tertabrak sepeda motor hingga mengalami luka-luka,” ungkap Dian (37), warga setempat.
Terkait dengan hal itu, Kasi. Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Banjar, Aan Mulyana, menjelaskan, keberadaan pita penggaduh jalan atau polisi tidur di Jalan Masjid Agung sudah lama terpasang. Ia pun mengakui, memang ukuran pita penggaduh jalan yang ada di lokasi tersebut cukup tinggi.
“Itu warga sekitar yang memasang pita penggaduh jalan, karena di jalan itu pernah terjadi kecelakaan dan memakan korban salah seorang warga setempat, akibat pengendara motor yang kebut-kebutan. Namun, kami minta pemasangannya jangan terlalu tinggi, dan harusnya ketinggiannya maksimal 4 centimeter,” kata Aan, saat ditemui Koran HR, di ruang kerjanya, Selasa (22/04/2019).
Sekretaris Dishub Kota Banjar, Ajat Sudrajat, menambahkan, dalam aturan, sebenarnya warga umum tidak diperbolehkan membuat pita penggaduh jalan atau polisi tidur. Hal itu tercantum dalam Pasal 26 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Di dalam pasal tersebut dikatakan bahwa, penyedia perlengkapan jalan hanya pemerintah dan badan usaha jalan tol. Kemudian, dalam Pasal 38 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 82 Tahun 2018, dikatakan pula bahwa, yang berhak memasang dan menghapus polisi tidur adalah Direktur Jenderal, Kepala Badan, Gubernur, Walikota dan Bupati,” terangnya.
Sedangkan, dalam Permenhub juga mengatur soal bentuk dan ukuran sebuah pita penggaduh jalan, yang di dalamnya termasuk juga ada warna yang diberikan. Hal ini sebagai tanda adanya alat untuk memperlambat laju kendaraan.
Sesuai aturan dengan Pasal 274 dan 275 UU Nomor 22 Tahun 2009, setiap orang yang mengganggu fungsi jalan bisa dipidana penjara paling lama satu tahun, atau denda paling banyak 24 juta rupiah.
Ajat juga menjelaskan, karena banyaknya keluhan dari masyarakat, khususnya para pengendara yang merasa tidak nyaman saat melintasi Jalan Masjid Agung, pihaknya meminta kepada warga yang membuat garis kejut tersebut untuk menurunkan atau merendahkan ketinggiannya.
“Demi kepentingan dan keselamatan bersama, jika pun ada pemasangan pita penggaduh jalan atau polisi tidur, tapi pemasangannya harus sesuai dengan kriteria, yaitu maksimal setinggi 4 centimeter,” tandas Ajat. (Hermanto/Koran HR)