Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pengawal Reforma Graria (AMPERA) menolak perpanjangan HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan karet PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, di Desa Bunter, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Pasalnya, AMPERA menilai perkebunan karet yang sebelumnya dikelola PTPN VIII tersebut masih bersengketa dengan masyarakat penggarap. Hal itu terungkap saat masa AMPERA yang terdiri dari sejumlah organisasi menggelar audiensi dengan DPRD Ciamis, Selasa (18/12/2018).
Kordinator AMPERA, Ishak Ramdani, ketika ditemui awak media, Selasa (18/12/2018), menuturkan, pihaknya ingin mengawal masyarakat memperoleh haknya, menolak perpanjangan perpanjangan kontrak PTPN atas tanah di Desa Bunter.
Ishak menyebutkan, masa kontrak PTPN VIII terhadap tanah perkebunan karet di Desa Bunter sudah habis sejak tahun 2010. Untuk itu, pihaknya meminta hak masyarakat mengelola tanah tersebut.
Menurut Ishak, AMPERA memiliki lima poin tuntutan. Pertama; tim terpadu bekerja lebih proaktif, proporsional dan prosesional. Kedua, pemda segera membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria di Kabupaten Ciamis sesuai Pepres No 86 tahun 2018. Ketiga, BPN harus lebih proporsional dalam menyelesaikan sengketa tanah dan tidak ada keberpihakan kepada salah satu pihak, serta menuntut transparasi data HGU.
Keempat, pemberian hak atas tanah kepada masyarakat, khususnya di Desa Bunter, Kecamatan Sukadana, sesuai dengan reforma agraria. Kelima, menolak perpanjangan atau pembaharuan HGU karena bersengketa dengan masyarakat.
Lebih lanjut, Ishak, posisi masyarakat dan PTPN VIII sama, yakni sama-sama berupaya memperjuangkan untuk mendapatkan hak tanah. Pihaknya ingin, masyarakat tetap difasilitasi untuk menggarap lahan yang selama ini sudah menjadi penopan kehidupan sehari-hari.
“Kami hanya meminta sebagian agar tetap mengakomodir dan memfasilitasi masyarakat,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua DPRD Ciamis, H. Nanang Permana, SH., menegaskan, pihaknya akan memperjuangkan hak-hak sesuai peraturan perundang-undangan. Menurut dia, setuap 25 tahun sekali HGU diukur ulang. Undang-undang juga memberikan ruang 20 persen bagi rakyat atau masyarakat bila membutuhkan.
Nanang menyebutkan, undang-undang tetap harus ditegakkan. Dan merujuk peraturan pemerintah tahun 1996, ketika HGU habis, asetnya harus dibongkar. Tapi, jika dibongkar oleh rakyat, dikhawatirkan justru terjadi benturan.
Intinya, kata Nanang, karena HGU-nya habis, pihak PTPN VIII juga harus membongkar aset yang ada. Di pihak lain, masyarakat juga harus menahan diri dan ikuti aturan yang ada.
“Luas tanah keseluruhan di Desa Bunter mencapai 899 hektare. Nanti, 20 persennya bisa dimohonkan oleh masyarakat. Keputusannya ada di Panitia B, di Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat,” katanya.
Dari pantauan Koran HR, massa dan elemen yang tergabung dalam AMPERA diantaranya Serikat Petani Pasundan (SPP), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) SPP, Forum Mahasiswa Ciamis (FORMACI), Front Aksi Mahasiswa Universitas Galuh (FAM UNIGAL), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan masyarakat Desa Bunter. (Fahmi/Koran-HR)