Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ciamis menyebut ada 7 titik bencana longsor di area hutan produksi yang berada di kaki Gunung Sawal atau berada di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Sindangkasih, Cihaurbeuti, dan Panumbangan Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dari hasil peninjauan lapangan BPBD, longsor yang terjadi di tujuh titik itu berpotensi menimbulkan bencana apabila tidak segera ditangani.
Kabid Kedaluratan dan Logistik BPBD Kabupaten Ciamis, Ani Supiani, mengatakan, pihaknya sudah melaporkan hasil tinjauan lapangan mengenai 7 titik longsor di kaki Gunung Sawal ke beberapa instansi terkait. Menurutnya, dari hasil penelitian lapangan ke tujuh lokasi longsor, terdapat beberapa saluran mata air yang tersumbat oleh muntahan material longsor.
“Yang kami khawatirkan itu saluran mata air yang tersumbat oleh muntahan material longsor. Kami khawatir apabila tidak cepat ditangani akan berpotensi bencana banjir bandang seperti yang terjadi di Desa Padamulya Kecamatan Cihaurbeuti pada beberapa tahun lalu,” ujarnya, kepada Koran HR, Selasa (13/11/2018).
Ani menambahkan, apabila saluran mata air yang mengalir dari gunung sawal tersumbat oleh muntahan material longsor, dikhawatirkan akan membentuk kubangan seperti kolam. Apabila kubangan air itu kemudian jebol di saat hujan deras, dikhawatirkan akan timbul bencana banjir bandang yang menerjang kawasan permukiman penduduk yang berada di bawah kaki Gunung Sawal.
“Makanya, kami kemarin sudah melakukan koordinasi dengan Perhutani, BKSDA dan beberapa dinas terkait di Pemkab Ciamis untuk mencari solusi terkait masalah tersebut. Dari hasil rapat koordinasi kemarin, pihak BKSDA akan melakukan penelitian dan mencari solusi agar kondisi tersebut bisa cepat teratasi,” ujarnya.
Sementara itu, Akademisi Universitas Galuh (Unigal) Ciamis, Hendra Sukarman, mengaku pihaknya sudah mendapat informasi terkait 7 titik longsor yang berada di kaki Gunung Sawal. Menurutnya, 7 titik longsor tersebut seluruhnya berada di area hutan produksi milik Perhutani yang kini dikerjasamakan dengan masyarakat melalui program PHBM.
“Artinya, dalam persoalan ini Perhutani sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Termasuk apabila di kemudian hari timbul bencana yang lebih besar dan mengancam keselamatan warga,” tegasnya, kepada Koran HR, Selasa (13/11/2018).
Hendra menjelaskan, dari tujuk titik longsor yang terjadi di kaki Gunung Sawal, salah satunya berada di area sumber mata air Jayagiri atau tepatnya di Desa Gunungcupu Kecamatan Sindangkasih. Menurutnya, sumber mata itu merupakan yang terbesar di kawasan Gunung Sawal dan mampu mengairi untuk kebutuhan pasokan air PDAM Tirta Galuh Ciamis.
“Yang kami khawatirkan itu longsoran tanah yang terjadi di sumber mata air Jayagiri. Karena apabila saluran airnya semakin tersumbat, kami khawatir muncul kubungan-kubangan air yang tertahan longsor. Lalu di kemudian hari kubangan air itu jebol dan menyebabkan banjir bandang yang menghantam perumahan penduduk di bawahnya,” terangnya.
Hendra mengatakan permasalahan ini jangan dianggap enteng. Perhutani sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, karena sebagai pengelola lahan, harus cepat melakukan penanganan agar tidak terjadi bencana banjir bandang seperti yang dikhawatirkan.
“Untuk langkah penanganan harus secepatnya disingkirkan muntahan longsor yang menyumbat saluran mata air. Kemudian langkah selanjutnya lakukan reboisasi agar tidak terjadi longsor kembali,” ujarnya.
Hendra mengatakan, ketika di kaki Gunung Sawal terdapat 7 titik longsor dan semuanya berada di lahan PHBM, pihak Perhutani harus segera melakukan evaluasi. Menurutnya, apabila Perhutani melakukan penabangan pohon jati atau pinus di area hutan produksi, jangan sampai semua pohon dibabat habis. Tetapi, harus dilakukan sistem tebang pilih agar lahan yang ditebang tidak menjadi gundul.
“Perhutani selalu membabat habis pohon hampir di semua petak. Setelah lahannya gundul, kemudian dikerjasamakan dengan masyarakat melalui program PHBM. Ketika ada masalah seperti ini, kemudian masyarakat yang menggarap lahan melalui program PHBM yang disalahkan,” tegasnya.
Hendra menduga program PHBM justru dijadikan kambing hitam apabila kemudian hari terjadi bencana. Padahal, biang yang menimbulkan bencana bukan dari PHBM, tetapi dari strategi Perhutani yang kerap membabat habis pohon apabila melakukan penebangan di setiap petak.
“Pikir saja, area hutan produksi yang sudah dibabat habis, kemudian ditanami pohon kopi atau pohon buah-buahan melalui program PHBM. Secara logika saja, pohon kopi atau sejenis tanaman buah-buahan lainnya tentu tidak bisa berfungsi sebagai penahan air. Makanya, timbulah longsor atau bencana lainnya,” katanya.
Seharusnya, kata Hendra, tidak semua tegakan pohon besar ditebang oleh Perhutani. Tetapi harus menyisakan beberapa pohon yang berfungsi sebagai resapan air. “Perhutani jangan selalu berpikir keuntungan semata, tetapi juga harus pikirkan keselamatan ekosistem hutan,” tegasnya. (Bgj/Koran-HR)