Berita Pangandaran (harapanrakyat.com),- Keberadaan terowongan Kereta Api jalur Banjar-Pangandaran yang berada di wilayah Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran yang dikenal terowongan Wilhelmina menyimpan segudang cerita dari warga setempat.
Terowongan yang merupakan sisa peninggalan zaman Belanda saat penjajahan ini sudah lama tak digunakan sejak diberhentikannya operasi Kereta Api jalur Banjar-Pangandaran beberapa tahun silam.
Diketahui, panjang terowongan ini mencapai 1.208 meter yang tepatnya di kilometer 82 jalur Banjar-Pangandaran. Sementara nama Wilhelmina sendiri merupakan sebutan Ratu Belanda yang berkuasa pada tahun 1890 sampai 1948.
Ijan (82), warga Kalipucang, menceritakan, terowongan Wilhelmina dinobatkan sebagai terowongan kereta api terpanjang dan terindah di Indonesia. Pasalnya, selain jaraknya yang panjang, juga di sepanjang jalur tersebut bisa menikmati pemandangan alam, baik pegunungan maupun lautan.
“Pembuatan terowongan ini Belanda melibatkan jasa perusahaan Kereta Api yang bernama Staats Spoorwegen. Pembuatan yang dimulai sekitar tahun 1914 ini, baru bisa diresmikan dan digunakan pada 1 Juni 1921. Saat itu yang memerintah di wilayah Jawa Barat bernama Ratu Wilhelmina,” kata Ijan kepada Koran HR, Senin (24/09/2018).
Apuh, warga Dusun Bagolo Kolot, Desa Bagolo, Kecamatan Kalipucang, menambahkan, terowongan tersebut memiliki cerita tersendiri bagi warga sekitar maupun keluarganya. Pasalnya, pada saat pembuatan terowongan tersebut tidak sedikit nyawa masyarakat sekitar yang melayang akibat medan yang sangat sulit, yakni menembus areal pegununungan dan melintasi jurang yang sangat curam.
“Walaupun saat itu Belanda juga melibatkan jasa perusahaan kereta api dalam pembuatannya, namun mereka juga melibatkan warga pribumi. Zaman dulu kan belum begitu canggih seperti saat ini, apalagi yang kerja itu bangsa kita dan dengan sistem kerja paksa. Jadi wajar bila banyak yang meninggal,” katanya.
Selain cerita itu, kata Apuh, terowongan tersebut juga memiliki cerita mistis yang mana sampai saat ini warga sekitar jarang ada yang berani melintas, baik siang maupun malam hari.
“Kalau terowongan yang panjang sekali jarang jarang ada yang berani ke sana, apalagi kalau malam-malam. Sedangkan yang satu lagi masih sering digunakan warga pada siang hari. Dulu, sekitar tahun 1916 pembuatan terowongan ini sempat terhenti karena banyak yang meninggal dan pekerjanya pun sedikit. Namun, tidak lama kemudian dilanjutkan lagi dan bisa diresmikan sebagai jalur kereta api Banjar-Pangandaran,” pungkasnya. (Ntang/Koran HR)