Berita Ciamis (harapanrakyat.com),- Penobatan Raja Galuh yang sebelumnya dikukuhkan di situs Pancalikan (peninggalan singasana raja Kerajaan Galuh) Cagar Budaya Karangkamulyan, di Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, pada Senin (23/07/2018) lalu, terus menuai polemik. Setelah dipertanyakan oleh DPRD Ciamis, kini budayawan yang juga Akademisi Sejarah Sunda, Prof A Sobana Hardjasaputra, turut mengkritisi adanya penobatan Raja Galuh tersebut.
Sobana menegaskan tata cara penobatan Raja Galuh yang diprakarsai komunitas budayawan Galuh Sadulur dinilainya sudah melenceng dari sejarah Kerajaan Galuh. Dia mencontohkan, seperti orang-orang yang memilih Raja Galuh, seharusnya bukan oleh perwakilan dari kabuyutan. Karena menurut catatan sejarah Galuh, kata dia, justru kabuyutan diangkat oleh Raja Galuh.
“Dari sistem pemilihaannya saja sudah melenceng dari sejarah. Kabuyutan itu bawahan Raja. Masa Raja dipilih oleh Kabuyatan. Ini kan lucu. Meskipun mereka bilang penobatan itu dengan sebutan raja tanpa mahkota dan tahta. Makanya wajar DPRD Ciamis mempertanyakan terkait penobatan Raja Galuh, karena memang sudah melenceng dari sejarah,” ujarnya, kepada Koran HR, Selasa (31/07/2018) lalu.
Namun begitu, lanjut Sobana, dirinya mengapresiasi gerakan pelesatrian budaya dan adat Kerajaan Galuh yang terus digulirkan oleh komunitas Galuh Sadulur. Bahkan, dia mengaku selalu mendukung kegiatan Galuh Sadulur yang konsen melestarikan budaya Kerajaan Galuh.
“Kalau tujuannya untuk melestarikan budaya Galuh, itu bagus. Saya sangat mendukung. Nah, kalau seandainya komunitas Galuh Sadulur memandang harus ada seorang pemimpin budaya agar lebih menggeliat lagi kegiatannya, itu sah-sah saja. Malah bagus. Namun masalahnya, seorang pimpinannya jangan dinamai Raja, tetapi cari nama lain yang tidak mengundang polemik. Misalnya dinamai Sesupuh Galuh atau nama lain yang masih mengindentitaskan pemimpin Galuh atau pemimpin Sunda,” terangnya.
Menurut Sobana, apabila dilihat dari tujuan, kegiatan yang digulirkan Galuh Sadulur sangat luar biasa dalam mengangkat budaya Kerajaan Galuh. “Hanya persoalan nama raja saja yang mengundang polemik. Kalau para budayawan ingin mengangkat simbol pemimpin, ya namanya jangan Raja. Bisa kan cari nama lain, tapi tetap mengidentitaskan kegaluhannya. Kalau nama raja, justru mengaburkan tujuan dan malah mengundang polemik. Saya rasa nama Raja tidak tepat, karena konteks jamannya pun sudah berbeda antara dulu dengan sekarang,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Dewan Kebudayaan Kabupaten Ciamis, Yat Rospia, mengatakan, meski pihaknya hadir pada acara penobatan Raja Galuh, namun tidak mengikuti terlalu jauh. Pihaknya, kata dia, hadir di acara tersebut hanya sebagai penggiat budaya.
“Namun menurut pandangan kami, apabila ada penobatan Raja Galuh, baiknya dipilih orang yang bisa diterima dan bisa merangkul semua pihak. Tetapi, kami tidak memiliki kepentingan siapa yang pantas menjadi Raja Galuh. Bagi kami siapa saja tidak menjadi masalah. Hanya saja, kami melihat bahwa polemik ini bisa terjadi, dimungkinkan karena permasalahan tersebut,” katanya, kepada Koran HR, Selasa (31/07/2018) lalu.
Yat pun tidak mau berkomentar lebih jauh terkait masalah ini. Dia mengatakan polemik bisa mereda apabila semua pihak duduk bersama. “Ya baiknya para keluarga keturunan Galuh duduk bersama agar polemik ini tidak berkepanjangan. Kami hanya sebagai penggiat budaya saja dan tidak bisa terlalu jauh masuk ke ranah tersebut,” ujarnya. (Heri/Koran-HR)
Berita Terkait
Penobatan Raja Galuh di Ciamis Jadi Polemik, Hanif Radinal Enggan Tanggapi
Khawatir Rusak Tatanan Sejarah, DPRD Ciamis Pertanyakan Penobatan Raja Galuh
Penobatan Raja Galuh Dipertanyakan DPRD Ciamis, Begini Penjelasan Hanif Radinal