Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat melansir bahwa Kabupaten Ciamis merupakan kabupaten/kota kedua terparah di Jawa Barat yang mengalami kekeringan akibat musim kemarau yang sudah terjadi selama dua bulan terakhir ini.
BPBD Jabar mencatat sebanyak 39.566 KK (kepala keluarga) di Kabupaten Ciamis mengalami krisis air bersih. Sementara 9273 hektar lahan pertanian mengalami kekeringan. Kondisi itu terjadi di seluruh kecamatan (27 kecamatan) di wilayah Kabupaten Ciamis.
Kabid Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ciamis, Ani Supiani, mengatakan, kekeringan akibat kemarau yang terjadi di wilayah Kabupaten Ciamis kini sudah menyebar ke seluruh kecamatan. Biasanya, tambah dia, daerah yang rawan kekeringan terjadi di 8 kecamatan, yakni Kecamatan Banjarsari, Banjaranyar, Pamarican, Lakbok, Cijeungjing, Cisadap Ciamis, Rancah dan Rajadesa.
“Sekarang di seluruh kecamatan ada daerah yang mengalami kekeringan. Namun, kondisi terparah memang terjadi di 8 kecamatan yang rawan kekeringan tersebut. Tapi untuk tahun ini, ditambah Kecamatan Cidolog yang sama banyak daerah yang mengalami kekeringan,” ujarnya, kepada Koran HR, Selasa (08/08/2018).
Ani mengatakan, banyaknya daerah di wilayah Kabupaten Ciamis yang mengalami kekeringan karena dipengaruhi dari kondisi tanah yang kebanyakan berada di dataran tinggi atau perbukitan. Sehingga sumber air warga yang mengandalkan dari sumur cepat sekali mengalami kekeringan ketika terjadi musim kemarau.
“Membuat sumur agar mendapatkan air yang memadai harus menggali lebih dari 15 meter. Meski sudah digali cukup dalam, namun kalau musim kemarau tetap saja sumurnya kering. Dan warga yang berada di dataran tinggi pun kesulitan mendapatkan sumber air, meski sudah menggali hingga kedalaman 15 meter lebih di saat musim kemarau,” ungkapnya.
Menurut Ani, sebenernya warga yang berada di dataran tinggi masih bisa terbantu dari aliran air pegunungan. Namun, beberapa fasilitas weslik yang sebelumnya dibangun oleh pemerintah, sekarang kondisinya sudah rusak. Sebagian besar pipa weslik yang mengalirkan air dari pegunungan ke permukiman penduduk banyak yang bocor.
“Selain itu, di beberapa daerah yang terdapat sumber mata air, juga terdapat kendala. Karena posisi mata air berada di bawah permukiman penduduk. Sehingga warga harus membeli pompa dan pipa untuk menarik air ke rumahnya. Tidak semua warga mampu membeli pompa air. Akhirnya, mereka mengambil air dari sumber mata ari dengan menggunakan jerigen,” ujarnya.
Meski terdapat air dari pegunungan dan sumber mata air, lanjut Ani, namun di sebagian daerah di Kabupaten Ciamis kondisi airnya keruh dan tak layak untuk keperluan mandi apalagi memasak. “Jadi penyebab kekeringan di Ciamis dipengaruhi oleh berbagai faktor. Untuk membantu warga yang mengalami krisis air bersih, akhirnya harus dikirim melalui mobil tangki,” ungkapnya.
Ani mengungkapkan, pihaknya telah menerima surat dari BMKG Stasiun Geofisika Kelas I Bandung, mengenai informasi prakiraan cuaca, bahwa Kabupaten Ciamis termasuk wilayah yang rawan mengalami kekeringan.
Dalam surat itu pun, terang Ani, musim kemarau tahun ini diprediksi terjadi dari April hingga Oktober. Bahkan, untuk fenomena El Nino dan La Nina, kemungkinan akan berlangsung normal pada bulan November.
Pihaknya, lanjut Ani, sudah melakukan aksi pengiriman air bersih untuk menanggulangi masalah kekeringan di Kabupaten Ciamis. “Kalau warga di 8 kecamatan tadi setiap mengalami kemarau pasti mengalami kekeringan. Namun, kondisi tahun ini berbeda, dimana kecamatan yang biasa tidak mengalami kekeringan pun sekarang kondisinya sama,” pungkasnya. (Bgj/Koran-HR)