Berita Pangandaran, (harapanrakyat.com),- Peninggalan sejarah kuno berupa tulisan tangan (manuskrip) pada pelepah kayu yang konon secarik surat yang ditulis oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma pada tahun 1628 M dan 1629 M, yang kini masih tersimpan utuh di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, ternyata terdapat benang merah dengan sejarah Kerajaan Mataram saat mengendalikan kekuasannya di tanah sunda, khususnya di wilayah Priangan.
Seperti diketahui, Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, merupakan Sultan ketiga dari Kesultanan Mataram. Dia memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah Sultan Agung, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara, termasuk memegang kendali di wilayah Priangan, salah satunya wilayah pesisir pantai selatan Pangandaran.
Dalam kisah sejarah ini, konon Pelabuhan Pamotan di Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, merupakan salah satu saksi bisu. Pada jaman itu, pelabuhan Pamotan merupakan tempat bersandarnya perahu-parahu milik prajurit Kerajaan Mataram yang hendak melakukan interaksi dengan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kawasen.
Lalu, bagaimana dengan tulisan tangan (manuskrip) pada pelepah kayu yang konon secarik surat yang ditulis oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma pada tahun 1628 M dan 1629 M, yang kini masih tersimpan utuh di Kabupaten Pangandaran?
Konon, menurut cerita rakyat Desa Pamotan, tulisan tangan (manuskrip) pada pelepah kayu yang konon secarik surat yang ditulis oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma itu berisi perintah kepada Jaga Resmi untuk menjemput Dipati Ukur.
Saat itu, salah satu pimpinan Kerajaan Tanah Ukur, yakni Dipati Ukur, dituding bersekongkol dengan VOC Belanda oleh Kerajaan Mataram saat dipimpin Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma. Kemudian Jaga Resmi yang mendapat perintah dari Kerajaan Mataram, berangkat ke tanah sunda dengan menggunakan perahu bersama prajuritnya dan bersandar di Pelabuhan Pamotan.
Menurut cerita, Dipati Ukur pernah membuat kesepakatan dengan Kerajaan Mataram untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap VOC Belanda ke Batavia. Kerajaan Mataram pun berjanji akan membantu pasukan yang dipimpin oleh Suro Agul-agul dan pasukan yang dipimpin oleh Dipati Ukur.
Namun, pada waktu yang telah ditentukan, pasukan Suro Agul-agul tidak kunjung datang ke Batavia. Akhirnya, hanya pasukan Dipati Ukur yang melakukan penyerangan ke Batavia. Tetapi kekuatan prajurit Dipati Ukur tak sebanding dengan kekuatan lawan atau hanya membawa sekitar 3000 prajurit.
Akibatnya, pasukan Dipati Ukur kalah dalam pertempuran. Dan Dipati Ukur memilih kembali ke tanah Sunda. Sikap pergi dari pertempuran yang dilakukan Dipati Ukur itulah yang dianggap oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma sebagai bentuk pengkhianatan.
Sultan pun marah. Kemudian dia mengutus Jaga Resmi untuk membawa Dipati Ukur ke Kerajaan Mataram. Dengan mambawa surat perintah yang ditulis pada pelepah kayu, Jaga Resmi berlayar dari Kerajaan Mataram dan kemudian perahunya bersandar di Pelabuhan Pamotan untuk menuju ke tanah Sunda.
Saat bersandar di Pelabuan Pamotan dan menunggu waktu yang tepat untuk menjemput Dipati Ukur, ternyata Jaga Resmi sempat berguru ke Chi Ling, salah satu keturunan China atau yang saat ini dikenal dengan nama Embah Pamotan. Selain berguru, Jaga Resmi pun menikah dengan putri Embah Pamotan bernama Nawang Wulan. Dari pernikahan itu mereka memiliki beberapa keturunan.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Pangandaran, Aceng Hasim, mengatakan, aktivitas yang dilakukan Jaga Resmi itu konon terjadi pada tahun 1628 M dan 1629 M.
“Tulisan tangan (manuskrip) pada pelepah kayu yang konon tulisan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma itu, kini keberadaannya masih tersimpan utuh di juru kunci Pamotan. Surat itu dikasihkan sebagai bukti Jaga Resmi diperintah oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma untuk menjemput Dipati Ukur,” katanya, kepada HR Online, Minggu (05/08/2018).
Menurut Aceng, dalam beberapa literatur sejarah terkait Kerajaan Mataram, dikisahkan bahwa Pelabuan Pamotan selalu dijadikan tempat bersandar perahu-perahu pasukan Kerajaan Mataram apabila hendak berinteraksi dengan Kerajaan Galuh atau Kerajaan Kawasen.
“Makanya, saat ini di daerah Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang, banyak warga yang memiliki silsilah keturunan dari Kerajaan Mataram,” pungkasnya.
Sebelumnya, tiga buah peninggalan kuno berupa tulisan tangan (manuskrip) yang konon sudah berusia 4 abad yang ditemukan di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, akan dilakukan penelitian secara ilmiah. Tulisan tangan manuskrip itu salah satunya berupa kertas kuno yang konon secarik surat yang dibuat oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma pada tahun 1628 M dan 1629 M
Selain tulisan tangan sultan Agung, juga terdapat tulisan tangan manuskrip Kitab Purwaning Jagat atau Kitab Kacijulangan dan Paririmbon Sunda. Namun, kedua manuskrip yang konon peninggalan kerajaan di wilayah Kabupaten Pangandaran itu belum diketahui pasti tahun pembuatannya. Hanya saja, apabila menilik pada sejarah Babad Cijulang, dikisahkan pada sekitar abad 16. (Mad2/R2/HR-Online)
Berita Terkait
3 Tulisan Kuno di Pangandaran yang Berusia 4 Abad Ini Akan Diteliti Sejarahnya