News, (harapanrakyat.com),- Selama manajemen pemasyarakatan tidak patuh kepada kaidah-kaidah keilmuan, utamanya terhadap teori dan prinsip pengorganisasian atas urusan-urusan pemerintahan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), selama itu pula permasalahan yang ada dan selalu saja terjadi, hingga kejadian baru-baru ini di Lapas Sukamiskin Bandung, akan disusul kejadian-kejadian berikutnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan lebih heboh (gaduh).
Hal itu dikatakan Anggota DPR RI komisi XI, Agun Gunandjar Sudarsa, yang juga sebagai anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakayan Kemenkumham, kepada HR Online, Kamis (26/07/2018).
Dia juga menegaskan, permasalahan di Lapas harus didekati secara legal dan faktual dari posisi dan fungsinya sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu. Karena secara teoritis, narapidana adalah manusia biasa yang memiliki kebutuhan.
Seperti diutarakan Maslow, bahwa penjara adalah “miniaturnya Negara.” Baik atau buruknya kondisi kehidupan masyarakat suatu Negara dapat dilihat dan tercermin adanya di penjara. Kriminalitas yang tinggi tercermin dari kuantitas dan kualitas isi penghuni penjara.
“Seperti sekarang ini, tindak pidana Narkoba yang tinggi berkorelasi dengan isi penjaranya. Over kapasitas yang terjadi menandakan Negara belum mampu mengatasi masalah kriminalitas, masalah narkoba, yang selanjutnya bisa ditarik dengan jumlah pengangguran serta permasalahan sosial lainnya,” terang Agun.
Untuk itu, lanjutnya, upaya penanganan segala bentuk permasalahan di Lapas, harus dipecahkan secara konprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Mulai dari sistem peradilan pidananya, peran pemerintah, masyarakat hingga keluarganya.
Pendekatan retributif, detterence (penjeraan), rehabilitasi dan resosialisasi telah lama gagal diterapkan di berbagai negara. Doktrin-doktrin pemidanaan tersebut digantikan oleh doktrin re-integrasi sosial, dengan tujuan pemulihan kembali kesatuan hubungan ‘Hidup-Penghidupan-Kehidupan’ antara napi dengan keluarga dan masyarakat, tanpa menghilangkan aspek derita atau hukumannya.
“Dalam perkembangan hukum dikenal dengan Restorative Juctice. Karena, penjara tidak pernah mampu memberi jaminan prilaku warga binaannya menjadi lebih baik apabila penanganan prilakunya, serta pelaksanaan manajemen organisasi Lapasnya tidak tepat atau tidak bersesuaian dengan kaidah-kaidah keilmuan pemasyarakatan dan prinsip-prinsip manajemen,” kata Agun.
Menurutnya, unsur manajemen harus lengkap adanya, mulai dari tata kelola SDM, keuangan, mesin, metode, hingga materialnya. Begitu pula dengan fungsi-fungsinya, mulai dari perencanan, pengorganisasian, pelaksanaaan hingga pengawasannya, harus dalam satu tangan sehingga jelas pertanggungjawabannya.
Dengan demikian, maka Kalapas harus mendapat kewenangan diskresi yang cukup, namun tetap wajib dipertanggungjawabkan. Karena, apapun yang terjadi terkait dengan Lapas, itu menjadi tanggung jawabnya secara penuh.
Adanya pemberontakan, kerusuhan, keseharian narapidana, kecukupan air, makan, kesehatan serta aktifitas atau kejadian lainnya yang terjadi di dalam Lapas, seperti narapidana sakit hingga hilangnya nyawa napi, itu adalah tanggung jawab penuh Kalapas.
“Seperti yang diutarakan prof Sykes, bahwa pemahaman tentang doktrin dan tujuan pemidanaan, posisi serta fungsi pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana terpadu, Restorative Justice, pemahaman tentang kehidupan dalam penjara, juga kesakitan-kesakitan dalam pemenjaraan,” tandasnya.
Agun menilai, hal tersebut diakibatkan pola hubungan interaksi antar sesama napi, sesama pegawai, dan antar napi dengan pegawai, baik yang bersifat formal maupun informal harus dipahami secara benar.
Kesemuanya itu membutuhkan Manajemen Penjara yang tepat, mulai dari unit tertinggi, Ditjen Pemasyarakatan sampai dengan UPT-nya. Dalam hal ini, Lapas dan Rutan yang secara hirarkis harus tergambarkan.
Fungsi manajemen tersebut secara tepat harus dimulai dari perencanaan sampai pengawasan dalam struktur oragnisasi berjenjang yang memadai. Terkait dengan yang terjadi di Lapas Sukamiskin, untuk terapi awal respon publik begitu negatif.
“Untuk itulah, Menteri Hukum dan HAM perlu membuat kebijakan baru guna memberi ketegasan mengenai boleh tidaknya, diizinkan tidaknya atas sejumlah benda, barang, sarana prasarana yang ada dan beredar di dalam Lapas dan dianggap sebagai barang “mewah,” seperti HP, laptop, AC, dispenser, toilet, kamar, saung dan lainnya.
Menurut Agun, hal ini dibutuhkan bagi petugas di lapangan agar ada jaminan dan perlindungan hukum dalam menegakan aturan untuk ketertiban di dalam Lapas. Selain itu, berikan kewenangan penuh kepada Dirjen Pemasyarakatan dalam tata kelola SDM Pemasyarakatan, tanpa merobah pola organisasi yang ada melalui penempatan Lapas kelas I atau Lapas khusus, dari yang semula di bawah Kakanwil dipindah.
“Dengan begitu menjadikan unit yang berada di bawah bertanggungjawab langsung kepada Menteri cq Direktur Jenderal Pemasyarakatan,” pungkas Agun, yang juga mantan petugas Lapas kelas I Tangerang itu. (Eva/R3/HR-Online)