Berita Pangandaran, (harapanrakyat.com),-Ruislag (tukar guling) tanah seluas 443.930 meter persegi yang digunakan untuk lahan Bandar Udara (Bandara) Nusawiru Pangandaran hingga kini ternyata belum tuntas. Hal itu terjadi lantaran uang sebesar Rp.25.208.362.000 dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Perhubungan Balai Pengelolaan Bandar Udara yang dibayarkan pada tahun 2013 lalu kepada Pemerintah Desa (Pemdes) Kondangjajar, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, belum sepenuhnya dibelikan untuk tanah pengganti.
Kepala Urusan Ekonomi Bangunan Desa Kondangjajar, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Kusmawan, mengakui bahwa pembayaran ruislag tanah untuk Bandara Nusawiru terjadi pada bulan Desember 2013 lalu.
“Sistem ruislag pada waktu itu pihak Pemprov menyerahkan uang sebesar Rp. 25,2 milyar kepada kami untuk dibelikan tanah sebagai penganti lahan yang digunakan bandara. Karena sebelumnya tanah yang digunakan bandara merupakan tanah milik kas desa. Uang pembayaran dari Pemprov itu dari sejak tahun 2013 sudah dibelikan tanah pengganti kas desa, namun belum semua uang dibelanjakan. Karena kami kesulitan mencari tanah warga untuk dibeli,” katanya, pekan lalu.
Kusmawan menambahkan, uang dari sisa pembayaran tanah dari Pemprov kini masih tersisa sebesar Rp.2,8 milyar. Dan uang itu masih utuh disimpan di rekening tabungan desa. “Dari tahun 2013, kami baru bisa mencari tanah pengganti kas desa seluas 72 hektare. Lokasinya tersebar di beberapa daerah,” terangnya.
Menurut Kusmawan, meski masih kesulitan mencari tanah pengganti untuk dibeli, namun pihaknya hingga kini terus berusaha mencari tanah warga untuk dibeli. “Sudah sekitar 5 tahun uang sisa pembayaran dari Pemprov disimpan di rekening bank. Saking lamanya, sampai-sampai bunganya sudah Rp.1 miliar,” ujarnya.
Kusmawan mengatakan, meski proses ruislag belum selesai, namun pihak Pemprov seolah sudah memiliki lahan bandara. Karena sejak terjadi pembayaran pada tahun 2013, lanjut dia, pihak Pemprov sudah tidak lagi membayar sewa tanah bandara. “Memang kendalanya pada permasalahan lahan pengganti yang sulit didapat. Andai saja waktu itu 100 persen sudah mendapat lahan pengganti, mungkin proses ruslagh sudah selesai,”ungkapnya.
Ruislag Bandara Nusawiru Dinilai Cacat Hukum
Sementara itu, Aktivis Serikat Petani Pasundan (SPP) Kabupaten Pangandaran, Kunkun, menilai, prosedur ruislag tanah Bandar Udara (Bandara) Nusawiru antara Pemprov Jabar pemerintah desa (Pemdes) Desa Kondangjajar, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, yang terjadi pada tahun 2013 lalu, cacat hukum. Pasalnya, dalam proses ruislag tersebut, Pemprov Jabar sebagai pihak pemohon melakukan penggantian tanah dengan berbentuk uang.
“Kalau sistemnya ruislag, Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat jangan menyerahkan sejumlah uang ke pihak desa, tetapi menggantinya harus dengan tanah lagi,” ujarnya, pekan lalu.
Apabila penggantinya uang, lanjut Kunkun, proses transaksi tersebut bukan ruislag atau penukaran tanah, tetapi hal itu sudah masuk ke ranah jual beli tanah. “Mekanisme ruislag yang diatur pada tahun 2013 lalu harus mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa. Pada aturan itu jelas ruislag harus dilakukan dengan cara penukaran tanah yang nilai jualnya sepadan,” tegasnya.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Pangandaran, Mahmud, mengatakan, transaksi ruislag lahan yang digunakan Bandara Nusawiru merupakan urusan Desa Kondangjajar dengan Pemprov Jabar.
Namun begitu, lanjut Mahmud, apabila merujuk pada Permendagri Nomor 1 tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa, transaksi ruislag tanah dengan sistem pembayaran uang tidak menyalahi aturan.
“Karena sekarang sudah terbit Permendagri tersebut. Apabila pada waktu transaksi tahun 2013 ada kesalahan, bisa disesuaikan dengan peraturan yang ada saat ini. Namun, lebih jelasnya harus ditanyakan ke pihak provinsi, karena kami tidak terlibat secara teknis dalam proses ruislag tersebut,” ungkapnya. (Mad2/R2/HR-Online)