Rumah panggung berbahan kayu dan bambu di Kampung Adat Kuta, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, merupakan amanah yang terus dipertahankan masyarakatnya secara turun-temurun. Photo: Heri Herdianto/HR.
Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),-
Kampung Adat Kuta, Dusun Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, merupakan satu-satunya daerah di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yang tetap mempertahankan kearifan lokal.
Melestarikan warisan leluhur dipegang erat oleh warga Kampung Adat Kuta, yakni dengan tetap mempertahankan bangunan rumah panggung berbahan dasar kayu dan bambu. Hal tersebut merupakan amanah yang telah dilakukan secara turun-temurun.
Masyarakat Kampung Kuta meyakini jika ada salah seorang warga yang memaksa membangun rumah dari tembok, maka akan mendapat musibah. Bukan hanya pada orang tersebut, tapi berdampak pula terhadap warga satu kampung.
Percaya atau tidak, hal itu sudah dibuktikan dan dirasakan oleh warga Kuta. Bila ada warga yang memaksa membangun rumah dari tembok, maka secara bersama-sama mereka meminta untuk segera dirobohkan. Karena masyarakat khawatir akan datangnya bencana.
“Ini sudah menjadi amanah leluhur, tidak boleh membangun rumah dari tembok, tapi harus panggung. Bentuknya harus persegi panjang, tidak boleh menyiku, tidak boleh menggunakan genting tapi pakai kerai atau injuk,” terang salah seorang sesepuh Kampung Adat Kuta, Karman (58), saat ditemui di rumahnya, Rabu (07/03/2018).
Menurut Karman, pernah ada beberapa warga yang memaksa membangun rumah dari tembok. Warga itu pun meninggal dan bangunan rumahnya itu akhirnya dirobohkan dan diganti menjadi bangunan panggung seperti rumah yang lainnya.
Sesepuh Kampung Adat Kuta lainnya, Warja, menambahkan, selain “pamali” membangun rumah dari tembok, rumah panggung juga tahan terhadap gempa bumi. Selain itu, rumah panggung berbahan dasar kayu dan bambu tidak merusak alam, karena bahan baku tersebut bisa ditanam dan ditebang lagi. Sedangkan, kalau memakai bahan dasar semen, maka alam akan rusak.
Warja menuturkan, awalnya di Kampung Adat Kuta ini hanya ada 5 rumah panggung yang menurutnya sebagai pembuka atau pendiri Kampung Kuta. Kemudian bertambah hingga jumlahnya mencapai 125 rumah.
Saat ini rumah panggung di Kampung Adat Kuta hanya ada 117 rumah dan dihuni oleh 275 jiwa. Hal itu karena banyak yang sudah meninggal dunia dan rumahnya dirobohkan lantaran sudah tidak ditempati.
Lebih lanjut Warja menjelaskan, bahwa Kuta berasal dari kata Mahkuta. Konon di daerah ini sempat akan dijadikan pusat Kerajaan Galuh pada masa Prabu Permanadikusuma, sehingga masyarakat percaya kalau Kuta merupakan salah satu tempat peninggalan Kerajaan Galuh.
“Leuweung Gede salah satu tempat pusat kerajaan yang dibatalkan. Bahan bangunan yang terlanjur disiapkan hanya tinggal gundukan kapur (gunung kapur), gundukan semen merah, gundukan peralaran serta gundukan pandai besi yang membentengi Kampung Kuta sekarang,” paparnya.
Menurut Warja, Ki Bumi sebagai peletak dasar kehidupan di Kuta yang merupakan panutan warga Kuta. Adat istiadat warga Kuta merupakan runtutan sejarah yang tak bisa dilepaskan dari cerita Kerajaan Galuh awal, dan Ki Bumi yang diutus oleh Raja Cirebon untuk menyebarkan agama Islam ke daerah Selatan.
“Kami sebagai warga Kampung Adat Kuta akan terus melestarikan dan mempertahankan warisan ini,” tandas Warja.
Seiring berjalannya waktu, kehidupan masyarakat di Kampung Adat Kuta mulai mengikuti perkembangan, seperti sudah menggunakan listrik, barang elektronik serta kendaraan bermotor. (Her2/R3/HR-Online)