Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Sejumlah pemuka agama hindu Bali yang didampingi staf Gubernur Bali dan Rektor Institut Hindu Darma Negeri (IHDN) Denpasar, mendatangi Situs Astana Gede Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (20/01/2018) lalu. Mereka sengaja datang ke situs peninggalan Kerajaan Galuh ini untuk mamastikan kebenaran terkait sejarah nenek moyang mereka yang konon berasal dari keturunan Galuh.
Kabid Destinasi Dinas Parawisata Kabupaten Ciamis, Budi Kurnia, yang ikut mendampingi rombongan pemuka agama Hindu Bali ke Astana Gede, mengatakan, setelah para pemuka agama Hindu Bali datang ke situs Astana Gede Kawali, mereka semakin yakin bahwa Kerajaan Galuh adalah nenek moyangnya. Hal itu dipastikan dari beberapa benda peninggalan sejarah yang terdapat di Astana Gede yang banyak menandakan simbol-simbol agama Hindu Bali.
“Seperti tumpukan batu yang berada di dekat sumber air cikawali Astana Gede, menurut mereka itu merupakan tempat meditasi atau bertapa agama Hindu. Hal itu diperkuat oleh penelitian tim Unpad Bandung yang menyebutkan bahwa situs Astana Gede diduga kuat dulunya sebuah istana kerajaan dan juga terdapat kabuyutan atau tempat peribadatan umat Hindu,” ujarnya, kepada Koran HR, Selasa (23/01/2018).
Menurut sejarah dan kayakinan umat Hindu Bali, kata Budi, bahwa mereka mengklaim sebagai masyarakat ‘Sunda Kecil’ atau nenek moyangnya berasal dari keturunan Kerajaan Galuh. Berdasarkan sejarah, tambah dia, nenek moyang masyarakat Hindu Bali adalah generasi pada masa kerajaan Galuh Pakuan atau sebelum masuk agama Islam ke tatar Sunda.
Namun, beberapa tahun berselang atau masih di saat masa Kerajaan Galuh Pakuan, masuk penyebaran agama Islam dari Kerajaan Cirebon ke wilayah Galuh. Bagi mereka yang teguh ingin tetap memeluk agama Hindu, memutuskan meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke daerah Gunung Bromo Jawa Timur.
“Ketika mereka masuk ke Jawa Timur pun kembali terdesak oleh penyebaran agama Islam. Kemudian mereka berpindah lagi dan memutuskan menyebrang ke pulau Bali. Ketika menetap di Bali, keberadaan mereka tidak terganggu. Dan konon menurut sejarah, dari situlah awal mula berkembangnya kelompok masyarakat yang menganut agama Hindu Bali,” terangnya.
Ketika berbincang dengan pemuka agama Hindu Bali, kata Budi, mereka mengakui bahwa masyarakat Hindu Bali adalah ‘Sunda Kecil’. Sementara masyarakat sunda yang berada di Jawa Barat adalah ‘Sunda Besar’. ‘Sunda Kecil’ artinya bahwa nenek moyang masyarakat Hindu Bali berasal dari Sunda (Galuh Pakuan) dan mereka datang ke Astana Gede mengistilahkan sebagai ritual pulang kampung.
“Kalau dalam istilah bahasa sunda adalah ‘pangbalikan’ (pulang kampung). Jadi, mereka tidak sekedar hanya berziarah ke Astana Gede, tetapi juga merasa pulang ke kampung halaman nenek moyangnya. Mereka pun mengapresiasi dan berterima kasih kepada masyarakat Ciamis yang telah menjaga situs peninggalan nenek moyangnya,” ujarnya.
Saat berkunjung ke Astana Gede, kata Budi, para pemuka agama Hindu Bali meminta kepada Pemkab Ciamis dan masyarakat Ciamis agar diperkenankan bisa melakukan ziarah di situs Astana Gede secara rutin.
“Karena dalam agama Hindu pun mengenal istilah wisata ziarah seperti yang ada dalam budaya Islam di Indonesia. Hanya kalau di agama Hindu namanya tour gayatri. Kalau diperkenankan oleh masyarakat Ciamis, mereka pada setiap tahunnya akan membawa rombongan umat Hindu Bali untuk berziarah ke Astana Gede dan Karangkamulyan,” ujarnya. (Bgj/Koran-HR)