Pagelaran “Ngaji Budaya Kidung Wahyu Kolosebo” di halaman Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar Citangkolo Kota Banjar. Foto: Muhafid/HR
Berita Banjar, (harapanrakyat.com),-
Ribuan masyarakat dan santri hadiri pagelaran “Ngaji Budaya Kidung Wahyu Kolosebo” di halaman Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar Citangkolo Kota Banjar bersama para budayawan dalam memperingati tahun baru islam dan Haul Pendiri Ponpes, KH. Abdurrohim (Alm).
Dalam acara yang dipandu Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Ma’mun Syarif, penampilan wayang kulit oleh dalang Suwono, pembacaan Kitab Layang Syekh Abdul Qodir Jaelani oleh DR. Erik Krisna Yudha, budayawan Pangandara, yang diiringi musik kecapi serta pembacaan Mocopat oleh para budayawan lokal membuat suasana semakin hangat.
Tak hanya itu, penampilan seni bela diri atau pencak silat Pagar Nusa dari sejumlah pelajar serta pencak silat PSHT menambah decak kagum para pengunjung. Pasalnya, di sela-sela pertunjukan berbagai gerakan silat, mereka menunjukkan kemampuan luar biasa, mencambuk badan peserta pencak dengan cambuk secara berulang-ulang serta membengkokkan besi yang ditekan pada leher.
Pengasuh Ponpes Miftahul Huda Al Azhar Citangkolo Kota Banjar, KH. Munawir Abdurrohim, didampingi Ketua Panitia Acara KH. Muslih Abdurrohim, mengatakan, kegiatan seni dan budaya yang digelar di pesantrennya sudah menjadi agenda rutin tiap tahun setiap kegiatan Haul Pendiri Ponpes, KH. Abdurrohim.
“Ini adalah salah satu tradisi kita yang tidak boleh ditinggal oleh generasi kita. Apalagi dalam bacaan baik Mocopat ataupun Layang Syekh Abdul Qodir Jaelani terdapat banyak nasihat, hikmah serta sejarah yang sangat perlu diketahui generasi saat ini. Jika tradisi seperti ini ditinggalkan, tentu itu sama halnya kita melepas identitas diri kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan tradisi,” tegasnya.
Ketua Panitia Acara KH. Muslih Abdurrohim menambahkan, Ngaji Budaya Kidung Wahyu Kolosebo tersebut terinspirasi dari para walisongo yang mana tetap melestarikan budaya sebelum masuknya islam yang diselaraskan dengan ajaran-ajaran islam melalui bait-bait sastra di dalamnya tanpa mengurangi nilai kesakralannya.
“Ini adalah bentuk wasilah (perantara) permohonan kepada Alloh dari manusia untuk mendapatkan keberkahan dalam hidup melalui do’a dan pembacaan sejarah yang sudah berumur ratusan tahun. Pada intinya, para santri maupun masyarakat harus melestarikan dan menjaga dengan baik meski saat ini banyak sekali budaya dari luar,” katanya. (Muhafid/R6/HR-Online)