Ilustrasi Dana Desa. Foto: Ist
Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),-
Menyusul adanya informasi dari Kejaksaan Negeri Ciamis bahwa pemerintahan desa dilarang mengalokasikan anggaran untuk upah kerja dengan sistem HOK (Hari Orang Kerja) pada proyek infrastruktur Dana Desa (DD), karena melanggar azas swadaya dan gotong royong masyarakat, tampaknya menuai reaksi dari sejumlah kepala desa.
Kepala desa menolak apabila harus menghilangkan anggaran upah kerja. Karena khawatir swadaya masyarakat tidak muncul, sehingga membuat pekerjaan pembangunan fisik tidak tuntas. Selain itu, setelah masyarakat mengetahui pemerintahan desa mendapat program dana desa Rp. 1 milyar, membuat budaya gotong royong dan swadaya masyarakat menjadi berkurang.
Ketua APDESI (Asosiasi Perangkat Desa Indonesia) Kecamatan Banjarsari, Ramli Mahmud, mengatakan, setelah mendapat informasi dari kejaksaan terkait larangan upah kerja, karena dianggap melanggar ketentuan dalam Undang-undang no 6 tahun 2014, PP 43/47 direvisi 47, Permendagri 113/114 dan Perbup Ciamis tahun 2017, membuat pihaknya kini dilematis.
“Terus terang kami jadi dilematis. Karena kalau tidak menganggarkan upah kerja untuk tukang bangunan dan laden, bagaimana kami harus menjelaskannya ke masyarakat. Karena tidak semua masyarakat mengerti. Tetapi, kalau tetap memaksakan menganggarkan upah kerja, tentunya kami beresiko berurusan dengan hukum. Kami tidak mau menjadi korban,” katanya, kepada Koran HR, Senin (18/09/2017).
Ramli menambahkan, setelah program dana desa digulirkan, justru banyak masyarakat yang meminta diberdayakan pada proyek pembangunan infrastruktur dana desa. Tetapi, kata dia, mereka meminta upah sebagaimana layaknya. “Karena masyarakat tahu bahwa pemerintahan desa kini mendapat anggaran dana desa sebesar Rp. 1 milyar. Dalam pikiran masyarakat, justru hal itu merupakan peluang kerja bagi mereka. Jadi, tidak niat untuk menyumbangkan tenaganya,” ujarnya.
Kondisi itu, tambah Ramli, hampir terjadi di seluruh desa di Kabupaten Ciamis. Mungkin saja bisa jadi di seluruh Indonesia. “Tinggal cek saja, hampir semua pemerintahan desa di Kabupaten Ciamis menganggarkan untuk upah kerja. Karena memang kondisi masyarakatnya hampir sama seperti itu,” ujarnya.
Apabila penerapan pembayaran upah kerja dihentikan, kata Ramli, sudah bisa dibayangkan pihaknya akan mendapat protes dari masyarakat. “Kalau hanya protes saja tidak masalah, tetapi kalau tidak ada masyarakat yang mau bekerja bagaimana? Akhirnya, program pembangunan infrastruktur dana desa tidak tuntas dikerjakan,” tandasnya.
Menurut Ramli, saat Kejaksaan Negeri Ciamis menyampaikan informasi mengenai hal itu ke sejumlah perwakilan kepala desa, hampir semua kepala desa protes. Bahkan, kata dia, kejaksaan dengan petugas pendamping desa pun berbeda pendapat dalam hal ini. “Justru pendamping desa tidak mempermasalahkan soal penerapan pemberian upah kerja dengan sistem HOK. Malah dalam pertemuan itu perwakilan dari kejaksaan berdebat dengan petugas pendamping desa,” katanya.
Namun demikian, lanjut Ramli, pihaknya tetap akan mendengar apa yang disampaikan oleh pihak kejaksaan. Karena, kata dia, apabila pihaknya melanggar peringatan dari kejaksaan, khawatir nantinya malah menjadi permasalahan hukum. “Gara-gara persoalan ini kami tidak mau menjadi korban. Lebih baik kami ikut aturan yang disampaikan kejaksaan saja,” ujarnya.
Hanya, kata Ramli, dari pada dipaksakan menjadi dilematis bagi pihaknya, lebih baik seluruh pekerjaan pembangunan infrastruktur dana desa diserahkan ke Pemkab Ciamis untuk dikerjakan dengan sistem lelang dan melibatkan pihak ketiga.
“Solusinya mungkin seperti itu. Karena kalau tidak dikasih upah, mana ada masyarakat yang mau bekerja. Kalau pekerjaan pembangunan tidak tuntas, lantas siapa yang bertanggungjawab? Nantinya malah kami yang jadi salah lagi,” ujarnya. (Suherman/Koran-HR)