Ilustrasi Dana Desa. Foto: Ist
Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),-
Kepala Desa Cikupa Kecamatan Banjaranyar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Endi Supendi, menegaskan, apabila penerapan pengalokasian upah kerja pada kegiatan infrastuktur program dana desa dilarang karena melanggar peraturan perundang-undangan, pihaknya lebih memilih tidak akan mencairkan bantuan dana desa.
“Daripada jadi masalah, lebih baik tidak ada bantuan dana desa. Karena kami tidak mau berhadapan dengan masyarakat ataupun berurusan dengan hukum,” ujarnya, kepada Koran HR, Senin (18/09/2017).
Berita Terkait: Terkait Dana Desa, Larangan Pengalokasian Upah Kerja Diprotes Kades di Ciamis
Endi mengungkapkan, daripada dalam pelaksanaannya menjadi polemik, lebih baik aturan perundang-undangaan yang mengatur pengelolaan dana desa direvisi kembali. Karena, menurutnya, saat ini kondisinya sudah sulit untuk meminta gotong royong atau swadaya murni dari masyarakat.
“Dalam aturan perundang-undangan harus tegas bahwa program bantuan dana desa salah satunya bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat dengan sistem padat karya. Jadi, harus dihilangkan kata swadaya. Karena kalau harus swadaya murni, malah dalam pelaksanaannya menyiksa masyarakat dan perangkat desa,” tegasnya.
Endi pun mengatakan bahwa kegiatan pembangunan infrastruktur dana desa tergolong pekerjaan berat dan sangat menguras tenaga. “Jadi, kalau pekerjanya tidak diberi upah, sama saja memberlakukan kembali sistem romusa (kerja paksa) yang pernah diterapkan oleh penjajah,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris APDESI Kabupaten Ciamis, Gandar, mengatakan, setelah informasi yang disampaikan oleh kejaksaan menuai protes dari kepala desa, pihaknya mencoba untuk menengahi. Setelah melakukan komunikasi dengan kejaksaan, kata dia, ternyata terdapat salah penafsiran dari para kepala desa.
“Yang menjadi permasalahaannya adalah pada definsi operator dan tenaga ahli. Kepala desa beranggapan bahwa pekerja tukang bangunan tidak masuk ke dalam tenaga ahli. Tetapi setelah berdiskusi kembali dengan pihak kejaksaan, ternyata sudah ada kesamaan persepsi bahwa pekerja tukang bangunan masuk ke dalam tenaga ahli dan boleh mendapatkan upah,” katanya, kepada Koran HR, Selasa (19/09/2017).
Hanya saja, lanjut Gandar, jumlah pekerja tukang bangunan yang mendapat upah harus dibatasi. Dalam satu pekerjaan proyek pembangunan, menurutnya, maksimal 10 tenaga ahli yang mendapat bayaran upah. “Sebenarnya hanya salah penafsiran saja. Dalam hal ini sudah tidak ada masalah,” katanya.
Hal senada dikatakan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Ciamis, Lili Romli. Dia mengatakan, yang menjadi polemik dalam masalah ini hanya pada konteks klasifikasi tenaga ahli saja. “Maksud kejaksaan juga bagus bahwa dalam program dana desa jangan sampai menghilangkan azas swadaya dan gotong royong masyarakat sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan,” ujarnya, kepada Koran HR, Selasa (19/09/2017).
Lili menambahkan, pekerja tukang bangunan pun bisa masuk klasifikasi tenaga ahli, karena tidak semua masyarakat memiliki keahlian dalam bidang kontruksi. “Artinya, masyarakat harus ikut membantu dan berperan secara swadaya dalam kegiatan bantuan dana desa. Jadi, dalam pengerjaannya, tidak semua yang bekerja dibayar, tetapi ada sumbangan tenaga dari masyarakat untuk membantu. Hanya, untuk pengerjaan tertentu dan butuh keahlian, baru melibatkan tenaga ahli dengan sistem pembayaran upah,” pungkasnya. (Suherman/Bgj)