Berita Pangandaran (harapanrakyat.com),- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Pusat mengungkapkan Undang-undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 yang baru saat ini merupakan penggabungan dari tiga substansi yang berbeda, yakni UU Nomor 8 tahun 2012, UU Nomor 15 tahun 2011 dan UU Nomor 42 tahun 2008.
Menurut Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraeni, UU Pemilu tersebut bobotnya sangat besar yang terdiri 573 pasal, 6 buku dan 4 lampiran. Karena itu, ia menganggap UU tersebut sangat penting bagi stakeholder, KPU, untuk terus mensosialisasikan dan membedah regulasi tersebut agar masyarakat mengerti dan paham.
Ia menjelaskan, ada sejumlah isu krusial pada UU Pemilu baru yang memerlukan pembahasan lebih lanjut, seperti verifikasi partai politik yang mana seolah-olah pengaturannya memberikan keuntungan kepada partai peserta pemilu yang pertama untuk serta-merta menjadi peserta pemilu 2019 tanpa verifikasi.
“Menurut saya ini sangat perlu adanya uji materi atas pasal ini. Sebab, jika secara otomatis meloloskan partai, sedangkan realitanya di Pangandaran tahun 2014 belum ada karena masih bergabung dengan Ciamis. Maka, perlu adanya perubahan komposisi persyaratan seperti kepengurusan 75 persen yang tersebar di kabupaten/kota menjadi berubah angkanya karena kota baru,” terang Titi beberapa waktu lalu.
Isu selanjutnya yang perlu dibahas, lanjut Titi, adalah masalah ambang batas pencalonan presiden yang mengacu pada hasil pemilu 2014, yakni harus memiliki sekurang-kurangnya 20% kursi atau 25% suara sah Pemilu DPR. Selain itu, naiknya presentasi parliamentary threshold dari 3,5% menjadi 4%. Ia mengungkapkan, untuk persoalan ini sudah ada 4 pihak yang mengajukan gugatan ke MK.
Titi menambahkan, berubahnya metode konversi suara menjadi kursi yang sebelumnya menggunakan pembagi pemilih menjadi metode central lagi. Karena berbeda sekali pemilu dengan sebelumnya, perlu adanya sosialisasi oleh lembaga terkait.
“Perubahan desain penyelenggara Pemilu di Kabupaten Pangandaran juga terkena dampaknya, yaitu berkurangnya jumlah anggota Komisioner KPU yang tadinya yang tadinya 5 orang menjadi 3 orang. Dan itu menurut saya sangat berpengaruh pada kinerja kelembagaan,” jelas Titi lagi.
Meski demikian, lanjutnya, regulasi ini mengatur penguatan kewenangan Bawaslu yang mana Bawaslu dapat merespon kebutuhan serta aspirasi masyarakat atas pengawasan dan penegakan pemilu yang benar-benar sesuai harapan.
Terkait perubahan bagi pelaku kasus money politik, sangat disayangkan Titi karena dalam undang-undang pemilu yang lama penerima dan pemberi suap sama-sama mendapatkan sanksi. Akan tetapi dalam undang-undang yang baru penerima tidak masuk dalam kategori kejahatan. Karena itu, Titi menilai Bawaslu memiliki peran yang sangat strategis untuk melakukan upaya pencegahan serta pengawasan agar tidak lantas menjadi kesempatan untuk praktek money politic.
“Meski penerima tidak mendapatkan sanksi yang tegas, tapi ada sanksi yang tegas bagi yang memberi. Seperti halnya kalau dia calon, maka bisa dibatalkan pencalonannya oleh Bawaslu,” pungkas Titi. (Mad/R6/HR-Online)