Atim serta warga lainnya saat menyaring gambut atau embel di Dusun Margaluyu Desa Mulyasari Kecamatan Pataruman Kota Banjar. Foto: Muhafid/HR
Berita Ciamis, (harapanrakyat.com)
Lahan gambut di Negara Indonesia seringkali terdengar berasal dari wilayah Sumatera ataupun dari Kalimantan. Namun, pada tahun 1933, peneliti asal Belanda, Betje Pola, seperti dikutip dari National Geographic, mengungkapkan bahwa di Lakbok Kabupaten Ciamis Jawa Barat juga memiliki lahan gambut.
Menurutnya, seperti hasil penelitian yang diterbitkan tahun 1949, lahan gambut di wilayah Lakbok itu terbentuk karena adanya materi kayu dan hutan hujan. Sehingga, lahan gambut di Lakbok sangat berbeda dengan gambut pada umumnya seperti di Kalimantan.
Meskipun saat ini wilayah Lakbok, khususnya Rawa Lakbok yang kini menghasilkan embel/gambut, sudah berupa hamparan sawah, tanah di lokasi gambut berada merupakan jenis inseptisol sesuai peta yang dikeluarkan dari Bakorsurtanal (kini BIG) pada tahun 1999.
Bahkan, berkat dari penelitian Polak, tiga peneliti asal Indonesia yang bernama Budi Sumawawinata, Budi Mulyanto, dan Nia S.Sunarti melakukan studi kembali dan melahirkan sebuah jurnal ilmiah dengan judul “Land Use Evolution of Peatland in Rawa Lakbok, West Java” di tahun 2004.
Dalam penelitian itu, aktifitas mencolok warga sekitar di antaranya selain sebagai petani adalah sebagai penambang gambut. Sementara dari sisi ekologi, aktifitas menambang itu sengaja dilakukan warga untuk menurunkan permukaan tanah guna mencegah kekeringan saat musim kemarau tiba.
Suasana pedesaan di Rawa Lakbok, Ciamis, Jawa Barat, yang dulunya merupakan lahan gambut kini sudah berganti menjadi hamparan sawah. (Dok.Hans Joosten)
Sementara, menurut Hans Joosten, Profesor Studi Lahan Gambut dan Paleoekologi dari Institut Botani dan Ekologi Lanskap, Jerman, saat melakukan penelitian di tahun 2013 di Lakbok, gambut di wilayah Lakbok itu sebagian besar dilapisi sedimen liat dan lapisannya masih terawat dengan baik. Hal itu menunjukan vegetasi sisa-sisa dari pakis, dedaunan, pohon maupun semak-semak.
Joosten memperkirakan, lahan gambut di Lakbok yang luasnya sekitar 3.000 hektar itu sejak tahun 1930 hingga 2013 silam tidak banyak yang berkurang meskipun ada aktifitas tambang.
Dalam penelitiannya itu, Joosten menyarankan agar dilakukan investigasi menyeluruh soal luas, kedalaman maupun deposito gambut di Lakbok itu, termasuk menyarankan untuk dilakukan penelitian paleoekologi untuk mengetahui paleo-sejarahnya.
“Berikan juga restorasi dari vegetasi gambut yang sebenarnya, agar masyarakat di masa kini dan mendatang tahu bagaimana rupa wilayah ini di masa lampau,” saran Joosten seperti yang dipublikasikan National Geographic 1 Maret 2013 silam. (Muhafid/Koran HR)
Berita Terkait
Hidupi Keluarga, Puluhan Tahun Warga Margaluyu Banjar Ini jadi Pengayak Gambut