Kerusakan hutan produksi pasca dilakukan penebangan di kawasan Gunung Gegerbentang, Desa Sukahurip, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis. Foto: Istimewa/SPP
Oleh Asep Mulyana, SIP, MA
Peneliti Komnas HAM
Oktober 2016 merupakan bulan penuh musibah di kawasan Priangan Timur. Di Garut terjadi banjir bandang yang sangat besar dan mengakibatkan korban jiwa yang tak sedikit. Pada beberapa kawasan di Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Pangandaran terjadi banjir, longsor, dan amblasnya jembatan. Peristiwa-peristiwa ini telah mengundang keprihatinan semua pihak.
Di Kota Banjar, misalnya, banjir melanda Lingkungan Panatasan, RT. 03, RW. 20, Kelurahan Pataruman, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar. Banjir ini disinyalir terjadi akibat pengelolaan hutan produksi yang tak mengindahkan dampak alam dan sosial. Setiap hujan deras turun, sebanyak 20 warga di kawasan ini khawatir rumahnya tertimpa longsoran tanah dari Gunung Sangkur. Kecemasan ini dipicu oleh longsor pada 9 Oktober 2016 yang diduga merupakan akibat dari penebangan kayu jati oleh pihak Perhutani di perbatasan antara Desa Mulyasari dan Kelurahan Pataruman. Kawasan ini memang merupakan hutan produksi. Berdasarkan reportase HR, di wilayah ini terdapat delapan titik retakan tanah yang berada di gunung, salah satunya dengan panjang 50 meter, lebar 20 sentimeter dan kedalaman 1,5 meter (https://www.harapanrakyat.com).
Jika ditarik lebih luas dalam konteks Jawa Barat (Jabar), pengelolaan hutan di propinsi ini menunjukkan angka-angka yang mengejutkan. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar, berdasarkan SK Menhut 195/Kpts-II/2003, luas kawasan hutan di Jabar mencapai lebih dari 816.603 ha, yang terdiri atas hutan konservasi sebanyak 132.180 ha, hutan lindung seluas 291.306 ha, dan hutan produksi sebesar 393.117 ha. Jumlah yang dikelola Perhutani mencapai 684.423 Ha (hutan lindung dan hutan produksi) atau mencapai 84%, sedangkan hanya sekitar 16% hutan konservasi yang berada di pengelolaan UPT Nasional dan Dinas Kehutanan Jabar. Dari luasan ini, Jabar hanya memiliki sekitar 18,2 persen luas kawasan hutan dari total wilayah Jabar yang mencapai sekitar 4,4 juta ha. Angka ini tidak sesuai UU tentang Penataan Ruang yang mengatur bahwa 30 persen dari total wilayah harus masuk kawasan hutan. Pada titik ini, Jabar termasuk wilayah yang dianggap kritis sebagai penyangga kehidupan dan layanan alam (Tribunnews.com, 6 Juni 2011).
Secara umum Pulau Jawa memang dikategorikan sebagai wilayah rentan banjir, longsor, dan kekeringan. Menurut kajian Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Hariadi Kartodihardjo, kondisi ini disebabkan oleh hutan di Pulau Jawa yang berada pada titik kritis. Pulau Jawa hanya memiliki luasan hutan sebesar 3,38% dari seluruh kawasan hutan di Indonesia. Dari luasan tersebut, sebesar 85,37% dikelola oleh Perum Perhutani. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23,1%. Sebanyak 123 titik daerah aliran sungai (DAS) dan Sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan (Kompas, 30 Desember 2015).
Memperhatikan situasi ini, semua pihak kemudian menyadari perlunya koreksi dalam penataan dan pengelolaan hutan di kawasan ini. Di Banjar dan Ciamis, para pemimpin politik mulai mempertanyakan pengelolaan hutan produksi. Ketua DPRD Kota Banjar memandang bahwa kondisi cuaca di sejumlah wilayah memang buruk, namun guyuran air hujan yang meluapkan air menunjukkan bahwa fungsi penyerap air dari kawasan hutan tidak optimal.
Ketua DPRD Kabupaten Ciamis juga menuding kondisi hutan gundul di Ciamis sebagai penyebab banjir dan longsor di kawasan ini. Ia menegaskan hutan di kawasan Ciamis, Banjar, dan Pangandaran yang hanya ditanami satu jenis pohon sudah tidak dapat disebut hutan tetapi kebun. Hutan produksi di Gunung Sawal, misalnya, saat ini ditanami pohon pinus yang tidak menyerap air.
Langkah lebih maju ditunjukkan Wakil Walikota Banjar yang sudah melayangkan surat permintaan kepada Perhutani Jabar untuk mengalihkan fungsi hutan produksi di wilayah Kota Banjar yang dikelola Perhutani menjadi hutan lindung. Permintaan ini didasarkan kekhawatiran terjadinya banjir bandang dan longsor di beberapa kawasan di Kota Banjar. Sampai titik ini tampak bahwa para pemimpin di Kota Banjar dan Ciamis memiliki aspirasi yang sama untuk mengubah fungsi hutan produksi menjadi hutan konservasi.
Perubahan Fungsi Hutan
Jika merujuk pada UU tentang Kehutanan, hutan didefinisikan sebagai “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Ada tiga tipe hutan, yaitu hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Perubahan fungsi kawasan hutan dimungkinkan, baik sebagian atau seluruhnya, untuk mengoptimalkan fungsi hutan.
Selain itu, perubahan peruntukan kawasan hutan juga dimungkinkan karena memiliki dampak penting, cakupan yang luas, dan bernilai strategis. Hal ini ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan, misalnya, dibuka peluangnya ketika perubahan itu berpengaruh terhadap kondisi biofisik atau kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, berupa penurunan atau peningkatan kualitas iklim atau ekosistem dan/atau tata air. Kewenangan perubahan ini memang berada di tangan menteri, namun menteri menerbitkan keputusan perubahan itu didasarkan pada rekomendasi tim terpadu yang dibentuk setelah mendapatkan hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dari gubernur untuk wilayah hutan yang berada di bawah kewenangan propinsi.
Perlindungan HAM
Berdasarkan uraian di atas, UU memungkinkan terjadinya perubahan peruntukan dan fungsi hutan. Penurunan kualitas iklim atau ekosistem dan/atau tata air dapat menjadi argumen yang kuat bagi kepala daerah untuk mengusulkan perubahan fungsi hutan produksi menjadi hutan konservasi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Banjir dan longsor yang membahayakan hak hidup dan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dipandang remeh. Hal ini terkait perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi kewajiban negara sekaligus hak konstitusional warga negara. Dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Penegasan serupa dinyatakan UU No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pengelolaan hutan memerlukan pendekatan yang integratif dengan standar perlindungan HAM. Jika tidak, pengelolaan hutan akan cenderung menggunakan pendekatan ekonomi yang cenderung eksploitatif dan mempercepat laju deforestasi. Padahal pendekatan semacam ini membahayakan ekosistem, termasuk warga yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Pendekatan HAM sejalan dengan tuntutan-tuntutan komunitas internasional pada pertemuan-pertemuan tingkat dunia dalam tata kelola hutan. Mereka menyerukan penghentian deforestasi melalui produksi, perdagangan, dan ekspansi industri ekstraktif yang membahayakan hak-hak asasi manusia.