Hanafi (90), warga Margasari, Kelurahan Bojongkantong, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, tengah menunjukkan salah satu gerakan dari seni bela diri Kontho. Photo: Muhafid/HR
Berita Banjar, (harapanrakyat.com),-
Seni bela diri yang disajikan dalam bentuk seni pertunjukan memiliki keunikan dan sejarah masing-masing di berbagai daerah. Salah satunya seni bela diri Kontho yang berkembang di daerah Lingkungan Margasari, Kelurahan Bojongkantong, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat. Seni bela diri ini merupakan seni pertunjukan yang berkembang turun-temurun di Margasari sejak zaman penjajahan Belanda.
Dibandingkan seni bela diri lainnya, seperti karate, taekwondo dan jenis aliran silat yang masuk dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), Kontho tampil dengan gaya sendiri dan tidak memiliki kaitan dengan sebuah organisasi bela diri maupun ikatan tertentu kepada pecintanya. Namun, Kontho diyakini sebagai sebuah benteng individu setiap pemainnya berdasarkan warisan nenek moyang.
Hanafi (90), warga Margasari, Kelurahan Bojongkantong, adalah sosok generasi terakhir seni bela diri Kontho yang ada di Margasari. Kesehariannya sebagai pengrajin tempe, dirinya masih sangat antusias kepada siapapun yang ingin mengetahui atau belajar Kontho. Bahkan, setiap minggunya dia mengajari anak-anak hingga orang dewasa sampai 4 kali.
“Pesan guru saya yaitu Mbah Husein, Kontho harus dilestarikan kepada generasi penerus untuk berjaga diri. Walaupun tidak pernah berlaga dalam moment pertandingan pencak silat yang biasa dilombakan, Kontho tetap harus diwariskan. Saya generasi terakhir setelah zaman penjajahan,” tutur Hanafi, saat ditemui Koran HR di rumahnya, Selasa (26/07/2016) lalu.
Secara histori, Hanafi mengaku tidak mengetahui secara pasti dari mana asal seni bela diri tersebut, yang dia tahu adalah dirinya belajar kepada gurunya dengan seksama. Sedangkan teman satu angktannya, kini sudah tiada lagi.
“Ya tinggal saya sendirian. Walaupun sudah tua begini, saya masih semangat untuk mengajarkan Kontho kepada anak-anak. Orang tua di daerah sini menyebut orang berkelahi pasti menggunakan kata Kontho. Jadi, bela diri ini sudah menjadi bagian hidup warga sini,” jelasnya.
Dalam perjalanannya sejak zaman penjajahan, seni bela diri tersebut hanya digunakan dalam pertunjukan hajatan, Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan lainnya. Sementara sisanya dikembalikan pada individu masing-masing.
“Kalau melawan Belanda ya jelas tidak berani, karena mereka bawa senjata. Sama Jepang juga kita tidak berani karena mereka membawa senjata samurai. Bisa dibilang ini sejenis olahraga warisan orang dulu,” terang Hanafi.
Dari puluhan muridnya yang masih setia belajar, salah satunya adalah Marbani (37), anak Hanafi. Menurut Marbani, antusias anak-anak maupun orang dewasa kini semakin meningkat dalam memperlajari bela diri Kontho. Dalam setiap latihan, mereka tidak dipungut biaya sepeserpun.
“Prinsip dari Kontho adalah gerakan dasar, gerakan langkah dan teknik mengunci lawan. Nah, ini yang menjadi daya tarik anak-anak di daerah sini. Kalau untuk latihan lanjut seperti olah tenaga dalam, biasanya hanya khusus orang-orang dewasa saja. Bukan hanya olah gerakan dasar saja, tapi kita juga biasa acoan atau tanding seperti bela diri lain. Jadi selain mengaji, setiap malam di sini ada terus kegiatan belajar bela diri,” ujarnya.
Setiap murid yang telah selesai mempelajari semua jurus yang ada, maka sang guru akan memberikan jurus pamungkas dalam belajar seni bela diri Kontho. Bedanya, dalam proses pemberian jurus terakhir ini biasanya disajikan telor ayam kampung, daun dadap, nasi merah dan nasi putih. Semua murid harus berada dalam lokasi yang sudah dibatasi dengan benang warna merah.
“Kita juga tidak lupa, sebelum latihan selalu membaca do’a dulu kepada Alloh SWT, dan setelah latihan juga sama kita berdo’a. Semoga saja seni bela diri ini dapat bertahan terus, walaupun zaman sekarang semakin modern,” pungkas Marbani. (Muhafid/Koran-HR)