harapanrakyat.com,- Perkembangan Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat, berjalan begitu cepat. Namun, di balik kemajuan itu tersimpan sepenggal cerita seorang tokoh ulama yang sangat berpengaruh serta “Babad Alas” di wilayah Langensari.
Pengertian dari “Babad Alas” sendiri secara sederhana adalah menebang pohon di hutan. Kegiatan ini merupakan sebuah tradisi dari nenek moyang bangsa kita, dan juga bangsa lain di dunia, untuk membuka permukiman sebagai tempat melakukan kegiatan.
Tokoh ulama itu adalah Syekh Mohammad Sanusi, pria kelahiran Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah, tanggal 10 April 1910, merupakan tokoh perkembangan Langensari Banjar. Pasalnya, segala perjuangannya tidak dapat dilupakan oleh santri, warga sekitar ataupun orang yang pernah bertemu dirinya.
Berdasarkan informasi dari keluarganya, Syekh Sanusi merupakan keturunan Kerajaan Padjadjaran dari salah seorang panglima di kerajaan Sumedang. Sedangkan Syekh Sanusi sendiri adalah seorang veteran yang sebelumnya berpangkat Letnan, dan kakanya, Samingan, berpangkat Sersan Mayor.
“Selain beliau adalah pejuang, juga seorang ulama yang menjadi panutan masyarakat sampai saat ini. Karomah beliau tidak dapat disebut satu persatu karena saking banyaknya. Salah satu kontribusi beliau adalah adanya Pasar Muktisari yang kini sedang direvitalisasi,” ungkap Ahmad Sai’dun, cucu sekaligus Ketua Yayasan As Sanusiah, kepada HR Online, Senin (30/05/2016) lalu.
Dia juga menceritakan, bahwa pada saat pembukaan Pasar Muktisari sekitar tahun 1959, Syekh Sanusi berdagang bersama empat orang yang juga jamaah Thoriqoh Qodiriyah Naqsabandiyahnya. Barang yang dijualnya pun seadanya. Setelah pasar mulai ramai, walaupun hanya berjalan tiap minggu, Syekh Sanusi berhenti berdagang.
Sebelum membuka pasar, selama tiga tahun Syekh Sanusi bersama jamaahnya setiap malam selalu berkeliling ke mesjid-mesjid serta tempat-tempat penting yang ada di Langensari, yang ditempunya dengan berjalan kaki sambil berdzikir hingga waktu shubuh tiba.
“Mungkin inilah karomah beliau sampai Langensari menjadi ramai. Hampir semua mesjid yang ada di Langensari adalah hasil jerih payah beliau bersama masyarakat. Bahkan sampai ke wilayah Jawa Tengah. Nah untuk pasar, beliau jariyahkan tanah untuk kepentingan masyarakat dalam bidang ekonomi. Sampai kapan pun tempat itu harus dipertahankan sebagai berputarnya roda ekonomi masyarakat,” tegasnya.
Selain berbakat dalam hal agama dan ekonomi, Syekh Sanusi juga seorang diplomat ulung pada waktu itu. Ketika urusan pemerintah, Syekh Sanusi selalu mengikuti aturan pemerintah, bahkan cara berpakaian pun tidak menunjukkan seorang Kyai pada saat berinteraksi dengan para
pejabat pemerintah.
“Proses “Babad Alas” beliau tidak hanya mengandalkan kehebatan dengan ilmu kewalian yang dimilikinya, namun proses diplomasi dengan pemerintah pada saat itu beliau tempuh. Sebagai seorang veteran yang dibayar 60 rupiah tiap bulannya, uang itu beliau gunakan untuk membuat puluhan WC khusus warga di sepanjang jalan, serta kegiatan sosial lainnya. Beliau hanya mengabdi kepada Alloh dan berjuang kepada negara,” terang Ahmad Sai’dun.
Hal senada diungkapkan Kyai Muhsin, salah satu santri Syekh Sanusi, yang juga masih keluarganya. Menurut dia, kiprah perjuangan Syekh Sanusi untuk masyarakat di wilayah Langensari tidak dapat diragukan lagi.
Menurutnya, selain melalui dakwah dengan membangun mesjid di berbagai penjuru yang ada di Langensari, Syekh Sanusi juga seorang tokoh yang dianggap “”nyeleneh” karena tingkatan Waliyulloh dirinya.
“Beliau adalah santri Kyai Bandi, Tambakreja, Kecamatan Lakbok. Dahulu, Syekh Sanusi pernah menyampaikan bahwa suatu saat akan ada pasar yang sangat besar, ada jalan layang di atas rel kereta (flyover), ada pusat pendidikan bertaraf nasional (sport center), serta ada kantor keamanan (Koramil). Semua yang diucapkan beliau sudah nyata. Hanya satu yang belum, yakni pasar terbesar,” ungkap Kyai Muhsin, saat ditemui HR Online, Selasa (31/05/2016) lalu.
Sementara itu, saksi hidup Syekh Sanusi, Amir, warga Langensari, juga mengungkapkan kehebatan tokoh ulama tersebut. Dia menceritakan, dulu saat dirinya disuruh ikut membantu pembuatan mesjid di wilayah Dusun Sukabagja, Desa Kalapasawit, Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis, Amir hanya disuruh memegang tas kecil milik Syekh Sanusi.
Amir pun penasaran dengan isi tas tersebut, dan ketika dibuka ternyata isinya hanya ada sebuah tasbih, Al-Qur’an kecil serta tiga buah permen. “Setelah itu, tiba-tiba sekitar 200 anak meminta permen kepada saya. Anehnya, semua anak kebagian permen. Sedangkan permen yang ada di dalam tas masih utuh tiga buah. Itu kejadian yang betul-betul saya rasakan waktu dulu, bukan rekayasa. Memang beliau adalah sosok ulama hebat yang perlu ditauladani perilakunya, terutama sebagai tokoh perkembangan Langensari Banjar,” kenang Amir. (Muhafid/R6/HR-Online)