Tikungan tajam di kampung Tepung Kanjut atau Tembungkerta di wilayah Desa Sukamukti, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, Jawa Barat atau berada di jalur Jalan Raya Banjar- Pangandaran. Foto: Dokumentasi HR
Berita Banjar, (harapanrakyat.com),-
Di Kota Banjar, Jawa Barat, ada satu nama kampung yang cukup unik, yaitu ‘Tepung Kanjut’. Kampung itu kini masuk ke wilayah Desa Sukamukti, Kecamatan Pataruman. Bagi orang Banjar, mungkin nama kampung tersebut sudah tidak asing lagi. Tapi banyak juga yang belum tahu, karena nama itu kini berubah menjadi Tembungkerta.
Namun, mengenai asal mula nama kampung Tepung Kanjut memang belum banyak yang tahu, termasuk warga Banjar sendiri. Hal ini sering kali menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat yang ingin mengetahui secara persis tentang sejarah nama kampung tersebut.
Untuk mendapatkan informasi terkait hal itu, selain mencari dari beberapa sumber, HR juga mencoba menanyakannya kepada salah seorang warga Banjar, H. Ahmad Shaleh (83), yang tinggal di Lingkungan Banjarkolot, Kel/Kec. Banjar.
Menurutnya, tepung dalam bahasa Sunda artinya bertemu, dan kanjut artinya kelamin laki-laki. “Jadi, nama kampung Tepung Kanjut itu artinya tempat bertemunya dua orang laki-laki,” terangnya, saat ditemui Koran HR, Sabtu (12/03/2016) lalu.
Lanjut Shaleh, berdasarkan cerita, dulu saat zaman kerajaan, ada seorang pemuda tampan dari Mataram bernama Adananya, berkelana ke sebuah kampung yang bernama Pataruman dan di kampung itu pemuda tersebut kepincut seorang gadis cantik.
Kemudian, Adananya pun melamar gadis itu ke ibunya, tetapi ibunya tidak merestui karena tahu bahwa Adananya adalah raja dari Mataram. Sehingga, ibu gadis itu merasa malu lantaran berasal dari kalangan rakyat biasa.
Karena tidak mendapat restu dari sang ibu, akhirnya gadis cantik tersebut melarikan diri dari rumahnya ke arah Barat, dan Adananya pun mengejarnya. Saat memasuki hutan belantara, gadis cantik itu terjerat tanaman areuy hingga kakinya terluka.
Adananya terus mengejarnya sampai akhirnya menemukan bercak darah sang gadis pujaannya itu yang menempel pada areuy, dan dia pun mengikuti jejak bercak darah tersebut. Di tempat itu Adananya menamai Cibeureum, karena dia melihat banyak bercak darah pada areuy seperti air yang berwarna merah.
Ketika Adananya mengejar gadis cantik pujaannya itu, tiba-tiba datang seorang pemuda tampan yang hendak menolong gadis tersebut, dan pemuda tampan itu pun mencegat Adananya di sebuah bukit, yang kemudian bukit itu dinamai Tepung Kanjut.
“Di bukit itu Adananya dan pemuda tampan yang mau menolong sang gadis cantik, bertarung saling mengadu kesaktian. Pemuda tampan itu adalah Raden Singaperbangsa atau Dalem Tambakbaya yang gelarnya Adipati Kertabumi III,” tutur Shaleh.
Raden Singaperbangsa adalah Raja Galuh Kertabumi. Pada waktu itu pusat kotanya berada di Liung Gunung, dan sekarang nama itu menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Manonjaya, Tasikmalaya.
Adananya sebetulnya sudah tahu bahwa pria tampan yang bertarung dengannya itu adalah Raja Galuh Kertabumi. Adananya sendiri adalah seorang ulama yang menyebarkan agama Islam dari Mataram. Adananya sebenarnya bernama Kanduruan Pandasuka Sarikusumah, yang kemudian dipusarakan di situs Pandasuka Batulawang.
Dalam pertarungan antara Adananya dengan Dalem Tambakbaya tidak ada yang kalah maupun menang, karena kesaktian keduanya seimbang. Akhirnya, kedua pemuda itu sepakat melanjutkan kembali mengejar gadis cantik tersebut dengan menggunakan kesaktian masing-masing, dan sang gadis pun langsung berlari sangat cepat ke arah Tenggara.
Ketika sampai di sebuah tempat, Adananya berdiri atau bahasa Sundanya “ngadeg,” lalu terkejar oleh Dalem Tambakbaya. Sejak saat itu sampai sekarang tempat tersebut dinamai Pangadegan. Mungkin nama itu diambil dari kata “pangudagan” atau pengejaran.
Saat gadis yang meraka kejar sedang beristirahat akibat kelelahan, Adananya kemudian berusaha menangkapnya, tapi dengan cepat Dalem Tambakbaya menghalanginya, hingga kedua pemuda tersebut terlibat pertarungan lagi.
Dalam pertarungan yang kedua kalinya itu, Adananya mengeluarkan ilmu terakhirnya, yaitu pukulan saketi. Namun, Dalem Tambakbaya mampu menghindarinya dengan menggunakan ilmu halimunan atau ilmu menghilang yang terlihatnya hanya sekejap mata, atau dalam bahasa Sunda “sajorelat.”
Di tempat menghilangnya sosok Dalem Tambakbaya itu hingga sekarang dinamai kampung Jelat. Nama tersebut berasal dari kata “sajorelat” artinya menghilang secepat kilat atau sekejap mata.
Sementara, sang gadis cantik yang dikejar oleh kedua pemuda tampan itu terus saja berlari, dan mengarah kembali menuju ke rumah ibunya. Namun, setibanya di rumah, ibunya sudah tidak ada, karena ibunya juga ikut mengejar ketika sang gadis itu melarikan diri.
Selama dalam pengejaran itu, ibunya sempat bertemu Adananya di kampung Jelat, dan menanyakan keberadaan anaknya kepada Adananya dengan bahasa Jawa, “mana lare,” yang maksudnya menanyakan ke arah mana anaknya lari. Kemudian Adananya menjawab, “ke sana ke arah Selatan.” Tempat tersebut sekarang dinamai dusun Mandalare yang diambil dari kata “mana lare,” yakni dari ucapan sang ibu sang gadis cantik itu.
Sang gadis tidak dapat dikejar oleh Adananya maupun Dalem Tambakbaya, karena ternyata gadis cantik tersebut mempunyai kesaktian yang lebih tinggi dari keduanya. Gadis itu sebenarnya bukan anak sang ibu, melainkan putri kerajaan Galuh bernama Ni Nursari.
Karena kelelahan, Adananya kemudian “ngarandeg” atau berhenti beristirahat, begitu pula Dalem Tambakbaya yang tiba sesaat kemudian. Tapi keduanya tidak bertarung lantaran sama-sama sudah merasa kelelahan. Tempat perhentian mereka kala itu selanjutnya dinamai kampung Randegan sampai sekarang.
Cukup lama dua pemuda itu beristirahat di kampung Randegan. Setelah cukup beristirahat, lalu keduanya kembali mengejar Ni Nursari. Sapanjang perjalanan mereka terlibat adu mulut atau omongan, dimana Adananya tetap ingin memperistri Ni Nursari, begitu pula Dalem Tambakbaya tetap bersikeras ingin menolong Ni Nursari dari paksaan Adananya. Sapanjang jalan itu sekarang terkenal dengan nama Cikadu, yaitu yang diambil dari kata “papaduan,” artinya adu omongan.
Sementara itu, Ni Nursari berlari ka arah Timur lalu nyebrang ke Sungai Citanduy. Adananya dan Dalem Tambakbaya pun terus mengejarnya, namun Ni Nursari larinya lebih cepat.
Di seberang sungai akhirnya mereka bertiga menghilang, dan semakin lama Sungai Citanduy pun semakin ramai ditempati oleh bandar dari karajaan Galuh dan Mataram. Di tepi sungai tersebut kini dikenal dengan nama desa Bandar.
Semakin lama pula desa Bandar itu ditempati oleh bandar-bandar dari kerajaan Mataram. Bahasa yang digunakan di desa tersebut adalah bahasa Sunda dan Jawa, yakni biasa disebut bahasa “Jawa reang.”
Sedangkan, desa tempat Ni Nursari dan ibu tirinya tinggal selanjutnya dinamai desa Bandar Pataruman. Dulu kata Pataruman berasal dari “patarungan” atau pertarungan. Nama itu dipakai untuk mengingat dari peristiwa pertarungan antara Adananya dengan Dalem Tambakbaya yang memperebutkan Ni Nursari kala itu.
Dari sejarah tersebut, dahulunya desa Bandar Pataruman banyak ditanami pohon tarum, yaitu semacam pohon nila. Kemudian, nama Bandar Pataruman pun diganti menjadi Banjar Patroman, sabab pada waktu itu banyak pendatang dari Mataram yang mengucapkannya salah. (Eva/Koran-HR)