Ilustrasi. Foto: Ist/Net
Berita Banjar, (harapanrakyat.com),-
Pro kontra usulan warga Kelurahan Muktisari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, kembali jadi desa terus bergulir. Setelah sebelumnya tokoh ulama yang meminta agar keinginan itu ditinjau ulang, kini giliran sejumlah ketua RT setempat menyuarakan penolakannya.
Seperti dikatakan Ketua RT.02, RW.03, Lingkungan Babakan, Kelurahan Mutisari, Ruhimat, S.Pd., S.IP., MM., kepada HR, pekan lalu. Menurut dia, adanya usulan tersebut sangat tidak mendasar. Bahkan pihaknya pun mempertanyakannya. “Yang menginginkan kembali jadi desa itu siapa, dan usulan warga yang mana,” tanya Ruhimat.
Dia mengungkapkan, adanya isu mengenai Kelurahan Muktisari ingin kembali lagi menjadi desa memang pernah dibicarakan dan dilontarkan sebuah lembaga kelurahan, saat rapat Musrenbang tingkat RW di RW.03, Lingkungan Babakan. Namun, warga RW setempat merasa kaget dan menyanggahnya.
Sekarang isu tersebut dimunculkan kembali, padahal saat rapat RW, warga tidak ada yang mengusulkannya, karena mereka tidak pernah mempermasalahkan mengenai status wilayahnya. Menurut Ruhimat, yang lebih mengherankan lagi, hal itu dikatakan pihak lembaga kelurahan dengan mengatasnamakan warga.
“Masyarakat tidak pernah mempermasalahkan keinginan jadi desa lagi. Nggak pernah ada. Ini hanya keinginan orang-orang tertentu. Saya berpikir, di seantero Indonesia, status pemerintah kota yang masih ada desanya hanya di Kota Banjar. Harusnya setelah menjadi kota, ya kelurahan semuanya. Jadi wacana tersebut hanya dari segelintir orang saja, kan sangat ironi. Kalau di bilang mundur, tentu mundur lagi,” tutur Ruhimat.
Dia mengibaratkan, dalam teknologi motor misalnya. Motor dulu pakai platina, sekarang sudah tidak ada yang memakai platina tapi pakai CDI, karena memang pabriknya sudah tidak mengeluarkan platina.
Artinya, di Kelurahan Muktisari pun sebenarnya ini masalah kecemburuan pembangunan dari seseorang atau kelompok tertentu, yang menginginkan kembali ke jaman dulu, dengan kata lain menoreh ke belakang.
Ruhimat mengatakan, mereka berpikir pembangunan di kelurahan selama yang dirasakannya langsung dikelola pemerintah kota, termasuk pelaksana atau kontraktor pun bukan oleh orang Muktisari. Jika itu persoalannya, maka silahkan warga Mutisari mengikuti mekanisme bagaimana caranya ikut masuk ambil bagian secara teknis dalam proyek pembangunan.
Seperti misalnya pohon cengkeh, pada bagian batang ada ulatnya, maka jangan ditebas pohonnya, tapi batang yang ada ulatnya saja yang dipotong. Dengan demikian, berpikirlah untuk kemajuan bersama, bukan untuk kepentingan kelompok.
“Jadi saya tegaskan sekali lagi, wacana itu dilontarkan segelintir orang-orang tertentu saja. Masyarakat RW saya tidak berbicara dan berkehendak perubahan status kelurahan kembali menjadi desa. Sekarang gini saja, di kota lain atau kota besar, apakah pernah ada kelurahan kembali jadi desa. Bagaimana pun sudah enak menjadi kelurahan,” pungkasnya. (Nanks/Koran-HR)