Asep Hermawan Sanudin (Penulis Artikel)
Artikel ini kiriman dari pembaca HR Online yang kini tinggal di Doha Qatar dan merupakan warga Kabupaten Pangandaran.
Oleh: Asep Hermawan Sanudin (Ki Dalang)
Kisah pengalaman inspiratif, penuh ledakan daya dorong, sepenggal kisah kehidupan, luka-liku perjalanan, humor, petualangan, cinta, kekecewaan, kepedihan, semangat pantang menyerah, tetesan air mata, kegagalan, dan kegemilangan diilhami dari pengalaman penulis dari zero to hero. Sulitnya mencari penghidupan yang layak pasca wisuda tidak sesuai dengan harapan. Berawal dari perjalanan menjadi seorang tenaga sukarelawan di sebuah Puskesmas Pangandaran Jawa Barat sampai berkelana di pulau-pulau Indonesia, dan akhirnya terdampar di negeri Qatar yang gersang kering kerontang. Penulis adalah warga Kabupaten Pangandaran dan kini tinggal di Doha Qatar.
***
SUARA angin malam berkesiur menghentak-hentakan bilik-bilik rumah semi permanen perkampungan nelayan. Udara yang dingin terasa menggigit-gigit sendi. Bulan malu menampakan diri bersembunyi di balik awan yang menghitam. Langit legam tak bersahabat. Sesekali saja terlihat bintang-bintang yang bertebaran. Warga yang terlelap tidur mendengkur di bawah kemul kain sarung. Dingin sekali. Tak seperti sedia kala. Binatang malam menjadi musik penentram mimpi kaum nelayan berpenghasilan pas-pasan itu.
Ayahku, Basri seorang pelaut kawakan yang sudah pernah menaklukan Samudra Hindia dan Atlantik. Sejatinya, dia bisa melaut lagi bersama kapal Jepang pencari tuna ke perairan Peru. Tapi, nasib berkata lain. Setahun ke belakang teman-teman sekerjanya mengadakan demo di kapal. Mereka menuntut kenaikan gaji dan kesejahteraan. Peralatan kapal dirusak. Kapal Sumimaru porak-poranda. Perusahan Sumimaru mendeportasi orang-orang di kapal. Tak terkecuali orang yang tak terlibat pun ikut dipulangkan. Ayahku termasuk di dalamnya.
Kini, bapakku hanya berpasrah diri saja menjadi nelayan bersama kawannya Entuy di kota wisata bekas Kerajaan Galuh Pananjung itu. Konon Pananjung yang mayoritas ditempati Suku Sunda itu dahulu kala dirajai Prabu Anggalarang putra Prabu Haur Kuning_Raja Galuh Pangauban. Berpatihkan Aria Kidang Pananjung dan berprameisuri Dewi Rengganis. Lama-kelamaan beberapa sesepuh menamai tempat itu menjadi Pangandaran yang berasal dari kata pangan (makanan), andaran (pendatang). Jadi, tempat itu sangat cocok untuk para nelayan karena banyak ikan.
Saya sudah enam bulan nganggur. Lulus dari Akademi Perawatan ternama di kota Tasikmalaya. Mencari kerja setelah lulus tak semudah membalikan telapak tangan. Dengan niat mencari pengalaman, saya rela bekerja menjadi tenaga sukarelawan (Sukwan) di Puskesmas Pangandaran yang tak jauh dari rumah semi permanen yang ditempati kami sekeluarga.
Malam itu saya menggeliat membetulkan posisi tubuh di sofa butut yang bolong di mana-mana. Terbangunkan suara celurut yang berisik berputar-putar di dekat bilik bambu. Kulihat gurat-gurat dahi ayah yang semakin terlihat garisnya karena menua. Beralaskan tikar, mereka tidur terlelap di lantai. Sedangkan Entuy sahabat bapakku tidur di pojok sofa. Sarung merah kotak-kotak Cap Mangga membalutinya. Berbaju kaos oblong dia mendengkur. Jam dinding berdentang pukul 03:30 dini hari. Ibuku terbangun sambil memicingkan kedua matanya yang silau terkena cahaya lampu pijar.
Selang beberapa lama, ayah dan Entuy temen seperjuangannya berkemas. Setelah mencuci muka dan mereguk secangkir kopi, mereka berpamitan dengan menggunakan pakaian butut dan mengenakan tutup kepala. Kedua sahabat itu mendorong gerobak berisi jaring dan mesin perahu. Meski hawa dingin menampar-nampar wajah mereka, tekad mereka bulat antara pulang membawa sesuap rejeki atau kosong membawa timbunan bon hutang yang menggunung di warung.
Sosok mereka lenyap ditelan gelapnya malam. Mereka bergegas ke tempat perahu dan menyongsong fajar yang mulai memutih ke arah Pantai Timur. Menggapai seonggok harapan untuk masa depan anak-anaknya. Harapan yang kadang lenyap ditelan badai ombak pantai Selatan yang mengganas. Asa yang terkadang pupus terhempas karang Batu Layar. Saya kembali mendengkur bersama adik-adikku di lantai. Selang berapa lama sayup-sayup suara adzan Shubuh berkumandang.
TEBAR JARING
BEBERAPA kawan ada yang sudah empat tahunan menjadi tenaga Sukarelawan belum juga diangkat jadi abdi negara. Tak berharap banyak menjadi PNS di Puskesmas Pangandaran, saya mulai tebar jaring. Puluhan lamaran kukirimkan baik via pos atau langsung kudatangi. Kadang-kadang ada surat jawaban bernada sama ‘maaf tak ada lowongan.’ Pahit getirnya hidup di kota wisata itu saya jalani.
Sempat saya diberi mandat untuk menjadi instruktur training kedaruratan bagi tim BALAWISTA_Penjaga pantai Laut Selatan. Kadang merujuk pasen ke RSU Banjar kujalani juga tanpa pamrih. Pengalaman yang masih membekas di ingatan tatkala usai tahun baruan. Ombak Nyi Roro Kidul lagi-lagi menelan mangsa. Dikabarkan ada seorang pemuda tenggelam. POLAIRUD, BALAWISTA dikerahkan. Saya bersama sopir Ambulance meluncur ke TKP.
Matahari seolah berkabung. Malas keluar dari peraduannya. Langit kelam. Mendung. Rintik hujan membasahi para pengunjung kala itu. Ambulance hibah dari pemerintah Spanyol itu menyeruak di sela-sela kerumunan orang. Beberapa petugas dengan speed-boatnya menepi ke pantai. Sirine meraung-raung. Ya, mayat yang sudah berhari-hari itu akhirnya mendarat juga. Uh, bau menyengat terhidu. Orang-orang segera menutup hidungnya. Rasa mual kutahan hingga korban masuk ke belakang mobil putih itu. Saya mengibarkan bendera kuning dan Ambulance melesat seperti peluru ke arah PUSKESMAS. Begitulah hari-hari kerjaku itu.
Kesabaranku membuahkan hasil. Saya mendapat pekerjaan di JAKSEL. Bukan main girangnya. Sebuah perusahaan jasa kesehatan merekrut saya dengan gaji minim. Lagi-lagi uang bukan segalanya. Pengalamanlah yang menjadi tujuan. Saya ditugaskan ke Tembagapura, Papua. Untuk pertama kalinya merasakan bagaimana nikmatnya naik Airfast. Tambang Freeport bak negeri di atas awan. Dari Timika saya dijemput Land Cruiser putih. Menyusuri jalanan yang berliku. Menukik tajam. Samping bukit terjal. Hingga tiba di Lembah Tersembunyi. Waduh! Benar-benar seperti mimpi. Pegunungan yang selalu diselimuti kabut itu ramai dengan gedung-gedung megah. RS, Masjid, tempat belanja, perumahan komplit semua ada. Hingar-bingar kota itu masih terngiang di telingaku.
Tiga bulan lebih saya bersarang di suhu 12 Celsius. Jaket tebal selalu menemaniku. Terkadang hidung mimisan karena saking dinginnya. Saya melayani penduduk lokal; Amungme, Moni, Dani, Kamoro dan tiga suku lainnya.
‘’AMOLE!’’ sapaan halo ala mereka.
Berkelana menjadi hobiku. Selepas tugas dari Papua. Saya dikirim ke Sumbawa. Di sana kuhabiskan waktu selama 2 tahunan di tambang emas. Benete, Sekongkang, Taliwang, Sumbawa Besar pernah kutelusuri. Pantai Maluk nan masih perawan memesona dan terabadikan di ingatan. Seorang gadis Lombok pernah hinggap di relung hati ini. Tapi, memang bukan jodoh. Suatu hari, saya dipanggil Manager mau ditransfer ke Pasar Panas. Lokasi 5 jam ditempuh dari Banjarmasin via darat. Di sanalah saya berbaur dengan orang Dayak Maanyan dan Dayak Bakumpai.
Kuputuskan untuk keluar dari perusahaan dengan alasan gaji yang sangat kecil. Saya pindah ke Riau. Kota Duri menjadi saksi bisu kegagalanku menikah dengan gadis Melayu yang aduhai cantiknya. Hmm…., sampai akhirnya kutemukan jodohku di Jakarta. Isteri saya orang Jawa. Kami menikah di tahun 2005 awal. Di penghujung tugasku di Senakin-KALSEL saya mengundurkan diri, alasan jauh dari keluarga. Sempat nganggur sebulan setengah lamanya. Tapi isteri tercinta selalu tabah. Isteriku yang masih bekerja di Klinik Cipete terus menyemangatiku. Hingga pada suatu ketika, melalui seorang kawan lama alhamdulillah saya diterima kerja di tambang batubara Samarinda.
MENTARI GURUN
Memang rejeki ibarat bayang-bayang. Kita kejar dia lari, kita diam rejeki mendekat. Sore hari saat saya mengendarai motor ke arah Toko Swalayan kota Wangon, tiba-tiba HP bergetar. Sontak saya meminggirkan roda dua itu. Nomor tak dikenal. Tapi kode 021. Wah, pasti dari Jakarta.
‘’Halo Mas Asep. Ini dengan Wahyu dari PT.Guna Mandiri. Lagi di mana nih?’’
‘’Lagi cuti Pak. Ada yang bisa saya bantu?’’
‘’Senin bisa ke Jakarta gak? Ada wawancara dengan Qatar Petroleum?’’
‘’Insya Alloh bisa pak.’’
‘’OK kalau gitu, saya tunggu di kantor. Usahakan datang sebelum jam 08:00 pagi.’’
‘’Baik pak.’’
Hari Senin adalah hari yang bersejarah. Konon, saya dilahirkan pada hari itu. Jantung terus berdegup kencang. Antara bisakah saya lulus interview dengan dokter Inggris itu atau tidak? Ah, mencoba nggak ada salahnya pikirku. Hingga saat giliranku tiba, eh ternyata orangnya ramah sekali. Beberapa pertanyaannya dijawab dengan sempurna. Sampe akhirnya kutanyakan langsung.
‘’Am I pass doc?’’
‘’Yes, you are. Congrats!’’katanya sambil jabatan tangan.
Alhamdulillah, saat itu juga saya tanda tangan kontrak. Orang HRD wanti-wanti jangan dulu keluar dari tempat anda bekerja hingga Visa di tangan. Saya turuti. Menunggu kurang lebih 3 bulanan. Proses demi proses terlewati. Mulai dari membuat paspor, pemeriksaan Kesehatan semua berjalan dengan lancar.
Suatu malam di bandara Cengkareng, isteriku bergelimangan air mata. Adikku Yoyoh juga berharap cemas. Kepergianku melanglang buana dilepas dengan deraian isak tangis.
‘’Saya harus berjuang untuk kalian. Bersabarlah. Insya Alloh akan kembali.’’kataku.
Lambaian tangan isteri dan adikku hilang ditelan belokan ruang tunggu airport Internasional itu.
***
KEDATANGANKU di Doha-Qatar disambut dengan amukan udara panas. Puncak Summer Juli di tahun 2006. Hawa gersang mencambuk-cambuk wajahku. Mentari seolah mendidihkan batok kepala. Bagaimana tidak, suhu mencapai 49 derajat Celsius. Saya dijemput seseorang berjubah putih dan memakai Gutrah (penutup kepala berwarna kotak-kotak merah) yang dibelit Ogel (tali pengikat kepala berwarna hitam seperti cincin). Si Arab itu menunggu di tempat kedatangan. Sambil memegangi selembar kertas bertuliskan namaku.
‘’Kaifa haluka?’’sapaku dalam bahasa Arab resmi.
‘’Alhamdulillah. Kaifal haal?’’jawabnya singkat.
‘’Ana Insya Alloh bikhoir.’’
Tak banyak bicara si sopir itu. Kedua tangannya piawai membanting roda kemudi. Sepanjang jalanan gersang. Hanya pasir kecoklatan. Sesekali saja kulihat pohon kurma yang berderet. Mobil 4WD berseliweran. Cepat dan cepat. Ugal-ugalan. Sama seperti Metromini yang lagi mengejar setoran. Saya tak konsentrasi melihat suasana kota. Mataku masih jetlag. Bangunan semua hampir sama. Kotak tak bergenting. Tak beratap. Monokromik. Berbeda dengan di Jakarta gedung pencakar langit menjulang tinggi.
TAT…TIT…TUT (Bunyi kelakson bersahutan).
Saya menyebrangi jalanan sambil membawa koper. Keringat bercucuran deras. Kaos singletku seolah lengket dengan punggung. Akhirnya, tiba juga di hotel Qatar Palace yang berwarna hitam gedungnya. Selang beberapa lama saya masuk. Setengah kubantingkan tubuh ini ke kasur. Serasa remuk tulang ini. Hampir 12 jam perjalanan. Mana ada transit dulu di Kuala Lumpur. Lelah. Penat. Bercampur aduk. Saya terlelap ke alam mimpi beberapa saat.
Tahun 2014 saya cuti ke Indonesia. Menyempatkan singgah di Puskesmas Pangandaran pada sore hari. Kuketuk pintu Ruangan Keperawatan. Wajah-wajah baru yang tak kukenal memenuhi ruangan itu. Saya pernah duduk di bangku itu 13 tahun silam. Salah seorang perawat yang berkerudung menatap lekat wajahku. Kusunggingkan senyum persahabatan.
‘’Saya Asep, perawat yang pernah Sukarelawan di sini. Boleh ketemu dengan Ika?’’
‘’Ika sudah pindah ke Cikangkung pak.’’
‘’Mbak Hernalis di mana?’’
‘’Hernalis kerja pagi terus.’’
‘’Oh iya makasih.’’
Kini, hampir satu dekade saya telah menghabiskan waktu di negri Oryx ini. Anakku kembar terlahir di perantauan Doha. Pangandaran tak akan terlupakan. Kota yang menjadikan karirku dari ‘Zero to Hero’. Udara pantai seolah mengingatkanku ke sahabat-sahabat lama seperjuangan; dokter Karang Ariadi, dr.Yeti, dr.Hidayat, pak Uhin, pak Yadi, Kang Ujang, Endah si perawat gigi, Ochi, Yani, Yeni, Ika, Yudi, Solihin, Engkus, Aa sopir Ambulance dan Si Uwak tukang masak di dapur Puskesmas. Entah sampai kapan saya mengembara di negeri orang. Suatu saat ingin kembali lagi ke pangkuan Ibu Pertiwi. Cepat atau lambat. Wallohu a’lam. Rasanya ingin membangun tanah kelahiran. Ah, mungkin hanya mimpi siang. *** (Bersambung)