Berita Banjar (harapanrakyat.com),- Sebagian orang menganggap bahwa masyarakat hanya terbagi dua, yakni masyarakat putih dan hitam. Bagi yang tergolong dalam masyarakat putih sudah jelas mereka merupakan golongan baik-baik dan terpelajar. Sementara yang hitam merupakan sampah masyarakat akibat dari pelanggaran-pelanggaran dan penyimpangan yang dibuatnya.
Tetapi tak banyak yang mengetahui bahwa sebenarnya ada masyarakat abu-abu. Mereka nampak normal dan baik, namun karena perilakunya berbeda, maka dianggap menyimpang dan menjadi masalah sosial di masyarakat.
Kaum marjinal ini memiliki gaya hidup berbeda dan unik jika dibandingkan dengan mayoritas individu, atau golongan dalam masyarakat. Sehingga, kaum minoritas masyarakat ini seringkali mengalami diskriminasi dari masyarakat, karena dianggap menyimpang dan mengganggu kepentingan sosial.
Fenomena sosial yang saat ini mulai menyeruak adalah mengenai kehidupan kaum LSL (Lelaki Seks Lelaki), baik mereka yang dikategorikan sebagai kaum gay, homoseksual maupun kaum waria. Mereka dianggap menyimpang akibat perbedaan orientasi seksual yang dimilikinya.
Keberadaan mereka berbaur di sekitar kita. Kehadirannya memang terkadang diabaikan. Meskipun sebetulnya ada aktivitas positif yang biasa mereka lakukan dalam kegiatan sehari-harinya.
Seperti halnya di Kota Banjar sendiri, ada aktivitas positif yang biasa dilakukan kalangan LSL. Berdasarkan penelusuran Koran HR di lapangan, ada gambaran umum mengenai informasi yang dipahami oleh kalangan tersebut. Baik informasi terkait dengan kesehatan, pekerjaan, pertemanan, serta personal mereka masing-masing.
Roy (bukan nama sebenarnya), salah seorang kaum LSL, mengatakan, selama ini kaum LSL kerap dicap negative oleh banyak kalangan masyarakat. Tetapi, suka atau tidak label tersebut harus diterimanya dengan lapang dada. Walaupun di sisi lain banyak hal-hal positif yang biasa dilakukan oleh komunitasnya.
Menurutnya, salah satu kegiatan positif komunitas LSL diantaranya turut serta mengkampanyekan upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular seksual dan HIV-AIDS, khususnya di kalangan mereka.
“Ketika kita ngumpul atau nongkrong bareng, topik pembicaraan yang dibahas semuanya bersifat positif. Selain masalah kesehatan, kita juga sering membahas mengenai usaha, atau bagi yang belum punya pekerjaan, kita saling sharing informasi agar bisa membantu satu sama lain,” tutur Roy, kepada HR, beberapa waktu lalu, saat begadang bersama di sebuah tempat nongkrong di bilangan pusat kota Banjar.
Roy juga mengaku, saat nongkrong bareng, biasanya setiap satu minggu sekali mengadakan arisan. Namun, mereka yang ikut arisan bukan hanya komunitas LSL saja, tapi ada pula dari kalangan wanita pekerja seks (WPS).
Lantaran, menurut dia, antara komunitas LSL dengan WPS ada kedekatan satu sama lainnya. Sehingga, tak jarang mereka pun saling berbagi informasi, khususnya untuk masalah kesehatan. Karena selama ini dua komunitas tersebut dianggap rentan terkena penyakit menular, seperti IMS maupun HIV. (Eva/Koran-HR)