Ratusan warga Desa Jelat Kecamatan Baregbeg, Kabupaten Ciamis, saat menggelar unjuk rasa di Gedung DPRD Ciamis, Jum’at (17/10/2014). Foto: Eli Suherli/HR
Ciamis, (harapanrakyat.com),-
Konflik masalah limbah tahu di Sungai Cibuyut yang terjadi antara masyarakat Desa Jelat, Kecamatan Baregbeg, dan pengusaha tahu di Desa Muktisari, Kecamatan Cipaku, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat sedikit mereda. Meski sifatnya sementara, kedua belah pihak sudah melakukan upaya musyawarah dan membuat kesepakatan.
Ketua BPD Desa Muktisari, Drs. Owoy Ruswana, Jum`at (7/11/2014), membenarkan adanya upaya musyawarah antara kedua belah pihak. Musyawarah itu merupakan langkah untuk mencari jalan keluar dalam penanganan limbah tahu agar tidak mencemari air maupun lingkungan. (Baca juga: Sungai Tercemar Limbah, Warga Jelat Ciamis Datangi Gedung DPRD)
Diakui Owoy, setiap musim kemarau warga yang ingin menggunakan air Sungai Cibuyut selalu melakukan aksi protes. Sepanjang tidak ada solusi, aksi protes tersebut dapat dipastikan tidak akan pernah berhenti.
“Musyawarah kali ini melahirkan beberapa kesepakatan, yang pada intinya dari semua kesepakatan itu tidak ada pihak yang dirugikan,” kata Owoy.
Ketua LPM Desa Muktisari, Hendra Sundara, mengatakan, untuk menciptakan kondusifitas, pengusaha tahu disarankan untuk mengurangi kapastias produksi. Menurut dia, limbah tahu itu ternyata tidak hanya mencemari Sungai Cibuyut saja, namun juga lingkungan setempat.
Kepala Desa Jelat, Darsono, menambahkan, mengatakan, pencemaran air yang disebabkan pembuangan limbah tahu membuat air Sungai Cibuyut tidak bisa dimanpaatkan. Selain itu juga menimbulakan bau tidak sedap.
“Meski telah ada kesepakatan dengan para pengusaha, ini bersipat sementara. Kedepan perlu ada penanganan yang serius,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Asisten Daerah II, H. Soekiman, menjelaskan, pengelolaan limbah telah diatur dalam Undang-undang No 32 tahun 2009 pasal 59. Dalam pasa itu dijelaskan, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan.
“Artinya telah ada aturan yang mengikat. Meski sudah ada kesepakatan ada beberapa hal yang harus diperbaiki atau ditempuh oleh para pengusaha agar sifatnya permanen,” katanya.
Ketua Komisi I DPRD Ciamis, Oih Burhanudin, mengatakan, aturan yang ada harus ditegakan dan diaplikasikan. Soal kesepakatan sementara antara warga dan pengusaha tahu, kata Oih, hendaknya dapat dijadikan pijakan bagi pengusaha tahu di Desa Muktisari.
“Untuk tegaknya aturan, kedepan perlu ada penyeselaian secara permanen. Para pengusaha dapat mengelola limbah sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga ketika melakukan kegiatan usaha, bisa berjalan dengan baik dan lancar,” ucapnya.
Sebelumnya, ratusan warga Desa Jelat Kecamatan Baregbeg, menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPRD Ciamis, Jum’at (17/10/2014) siang. Aksi tersebut merupakan buntut protes warga terhadap pencemaran limbah dari pabrik tahu yang mengalir ke Sungai Cibuyut.
Dalam aksi itu diketahui, bahwa sejak tahun 2012 Sungai Cibuyut sudah tercemar air limbah dari pabrik tahu yang berada di Desa Muktisari, Kecamatan Cipaku, Kabupaten Ciamis.
Pasalnya air sungai yang sering digunakan warga untuk MCK, pengairan sawah dan pengairan kolam sudah tidak bisa lagi digunakan, karena warna dan aroma air sungai sudah bau busuk tercampur limbah dari pabrik tahu. Apabila musim hujan, air sungai itu kerap digunakan untuk mengairi areal persawahan dan kolam ikan. Sedangkan di saat kemarau, sebagian warga mengunakan air sungai untuk MCK.
Sejak sungai tercemar limbah, sekitar 50 hektar sawah, 220 kolam milik warga dan 5 Mesjid Jami, tidak bisa lagi dialiri air dari Sungai Cibunyut. Bayangkan, kondisi ini sudah seperti terjadi bencana. Ketika warga belum mengetahui Sungai Cibuyut tercemar limbah, banyak ikan di kolam milik warga yang mendadak mati secara massal. Ketika ditelusuri penyebab matinya ikan, ternyata dari air sungai yang sudah tercemar limbah. (dji/Koran-HR)