Hari itu saya berbuka puasa di sebuah food cort di luar kota, bersama bekas teman sejawat yang pernah bekerja di perusahaan yang sama di Jakarta di era awal 1980, kami menikmati malam itu yang belakangan ini tidak gerah hujan acap kali turun. Perbincangan penuh gelak tawa dan sejuta tanda tanya.
Mau gelak tawa atau sejuta tanda tanya, keduanya berasal dari inti percakapan yang sama, membicarakan atasan yang super menyebalkan. Tampaknya membicarakan pimpinan itu sebuah percakapan yang terenak dan terempuk, enak ngomonginnya juga. Sampai kadang saya ini lupa kalau pemimpin juga manusia biasa seperti saya. Saya juga sering lupa, acap kali saya juga bisa menyebalkan seperti bos.
Teman sejawat saya ini memiliki atasan yang super kaku dan susah bergaul. Awalnya, saat pertama kali bekerja di bawahnya, ia mencoba untuk memahami atasannya itu, bahkan ia tak segan meluangkan waktu untuk mengobrol dan mengajaknya makan siang. Di akhir pekan, teman sejawat saya itu pun menyisihkan waktu untuk menemani pimpinan yang dimasa itu keduanya masih muda.
Namun, seiring waktu berjalan, teman saya mulai merasa kebaikan hatinya itu sudah waktunya dihentikan. Banyak keputusan-keputusan yang diambil oleh sang atasan dalam pekerja sehari-hari tampak kurang bijaksana, dan puncaknya saat teman saya menjadi korban dari kesalahan yang dibuat atasannya itu, ”Gue paling gak suka ama pimpinan yang nggak masang badan buat anak buahnya“.
Kemudian cerita berlanjut kemana-mana. Dari dalam perusahaan kepergaulan di luar perusahaan, melihat sejuta manusia yang mendatangkan kejengkelan kita saat berhadapan dengan mereka. Mulut yang pedas, bahasa tubuh yang angkuh, lirikan mata yang seperti sinar X- yang mampu menembus raga, yang merasa diri selalu benar, yang mengeluarkan kalimat pedas dan tajam seperti belati.
Belum lagi manusia yang seperti atasan tadi, susah dan tak mau pasang badan ketika situasi menjadi begitu genting, manusia yang berpolitik yang ingin menjatuhkan atau menggeser lawan dengan menggunakan problem orang lain. Semua orang akan mengatakan, ” Ah…itu sudah normal terjadi. Hidup itu hanya dua. Baik, atau yang kaya gitu itu “
Rehat sejenak, makan dan minum dulu, setelah percakapan itu. Memesan kopi, teman saya melanjutkan percakapan. Amit-amit jabang bayi kalau jadi orang, jangan belagu. Apalagi di bulan Puasa yang penuh berkah. Hilangkan kesombongan dan keangkuhan, bila mempunyai kekuasaan jangan sampai mendapat doa “amit-amit jabang bayi”. Para pemimpin dan yang kebelet ingin jadi pemimpin, sebaiknya harus berwajah ceria, lisan menarik, murah senyum (WALISMUSE). ***