Kekerasan terus berkecamuk, menyebar luas dan cepat keseluruh penjuru dunia. Berbagai bentuk kekerasan yang merusak seluruh jejaring kehidupan terus diproduksi. Bagaimana mengatasinya? Hidup terasa lebih bermakna bagi kita. Seperti dikemukakan intelektual dan pengamat sosial-budaya Komarudin Hidayat, penerapan nilai-nilai kemurahan hati dan aspek-aspek belas kasih. Seharusnya dipupuk melalui pendidikan baik di sekolah maupun di dalam keluarga.
Sayangnya, itulah yang hilang di sekolah, di kampus dan di birokrasi. Yang tertinggal adalah semangat berebut, terutama dalam soal kekuasaan, bukan berebut kebaikan, ujar Komarudin. Menanamkan belas kasih, kini terjadi di berbagai kota besar seperti di Jakarta. Di kampung pemulung di belakang pasar Cipete, Jakarta Selatan bau sisa sampah mengambang di udara. Namun, dari warung kecil di seberang gerobak-gerobak pemulung parkir tercium aroma cinta yang wangi.
Maria Shinta (62), sibuk di belakang sebuah meja kayu panjang di warung kecil, dekat lapak pemulung, pasar Cipete, sehari dalam satu minggu. Setiap Senin Ibu Shinta membantu seorang dokter relawan menyediakan obat bagi warga sekitar. “Ibu Shinta dan teman-temannya rutin datang ke sini setiap Senin dan Kamis” ujar Pariyem (67) pedagang di pasar Cipete yang pagi itu hendak berobat.
Setelah sesi pengobatan, seorang pria menurunkan bakul-bakul makanan berupa nasi dan lauk pauk. Shinta seorang istri pengusaha sukses dan teman-temannya mulai membagikan makanan. Sambil membagikan makanan, mereka bersanda gurau. Tampak sangat akrab karena hubungan dua pihak berbeda kelas sudah terjalin lama. Selama 25 tahun tanpa jedah Shinta berkegiatan di tempat itu.
Berawal dari warung sehat, Shinta menenggarai ketidakberdaya ketika mereka saat sakit . ”Kebayang kalau mereka sakit yang hanya menerima nasib, tak bisa berobat, tak ada uang karena penghasilan sehari habis hari itu,” ucap Shinta.
Shinta dan teman-temannya, lalu mengusahakan pelayanan kesehatan gratis dan program tabungan sederhana untuk keperluan mendadak. Kegiatan serupa kini menjalar di berbagai kawasan miskin lain di Jakarta. Kegiatan sederhana itu seperti doa yang dibumikan dalam wujud nyata. Hebatnya mereka menyediakan waktu dua hari sepekan di tengah kesibukan kehidupan ibu kota Jakarta.
Di tengah himpitan ekonomi yang diperparah dengan naiknya harga beragam kebutuhan pokok, menjelang kenaikan harga bahar bakar minyak (BBM), kepedulian orang-orang mampu seolah menjadi oase bagi masyarakat miskin kota. Kita berharap di negeri ini rasa berbalas kasih semakin tumbuh sosok Shinta-Shinta yang lain.
Membaca cerita itu, perasaan saya terunyuh bangga masih ada orang melakukan “Berbela rasa berbagi cinta”. Terus bertumbuhnya semangat berbagi yang tulus tanpa sekat di dalam masyarakat itu seperti bintang-bintang yang menerangi atmosfir bumi yang digelapi oleh keserakahan dan tindakan-tindakan yang jauh dari keutamaan hidup bersama. “Semangat yang terus berkembang itu adalah optimisme masa depan kita”.
Kegiatan-kegiatan sederhana yang merupakan latihan terus menerus dari kehidupan berbalas kasih juga merupakan antitesa dari karakter dan orientasi hidup yang keji dan mau terus mencuri. “Orang yang korupsi itu orang yang miskin mental”.
Sikap belas kasih tidak mengedepankan rasa kasihan, tetapi berbela rasa, menempatkan diri untuk merasakan penderitaan orang lain sehingga penderitaan orang lain ditanggung sebagai penderitaan sendiri. Namun, dalam dunia yang dipecah oleh ideologi, tindakan balas kasih tak jarang dicurigai sebagai kebohongan.
“Ketulusan diuji ketika dihadapkan pada berbagai cacian dan cercaan. Tetapi sejarah para rasul dan nabi membuktikan, jika kebaikan itu sungguh tulus, pasti akan bertahan dan mendapat pengakuan,”