Catatan Redaksi :
Pada edisi 312, Koran Mingguan Umum Harapan Rakyat (HR), peserta skuad Secangkir Kopi Panas makin solid, beberapa orang yang tidak hadir pada awal diskusi kini mulai datang. Ketidakhadiran mereka karena kesibukan kerja dan ada yang sakit, bahkan ada anggota skuad ini yang baru bergabung. Suatu hikmah yang tak diduga menjelang Kota Banjar berusia 10 tahun anggotanya bertambah dua orang yang sudah diberikan penjelasan apa itu Skuad Secangkir Kopi Panas.
Memang yang ingin bergabung ke skuad ini bukan hanya dua orang birokrat muda di Pemkot Banjar, tapi tiga orang lagi masih menunggu untuk diberikan pemahaman tentang apa, siapa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana aturan di skuad Secangkir Kopi Panas itu. Modalnya kritis, cerdas, beretika, dengan mengeluarkan pendapat menggunakan energi positif dan mengedapankan hati nurani.
Dalam menyampaikan pendapat dan pikiran yang tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku. Dan tidak ada pamrih, itu idialismenya dalam memberikan sumbang saran untuk kemajuan Pemerintah Kota Banjar yang diberikan oleh para birokrasi ini. Mudah-mudahan bisa terwujud birokrasi yang kuat di kota ini.
Anggota skuad Secangkir Kopi panas ini, birokrat muda diantaranya (H. Agus Nugraha Msi., Asno Suratno, MP., H. Basir MP., Dede Tito Iswanto, ME., Ery K Whardana ST., Wawan Setiawan, M.Si., Asep Barkah, M.Si., Billy Berta, S.Kom., Dede Suryana, S.IP., Agus Supriadi MT., Dasuki, SH. Mereka ini beradu konsep pemikiran dengan Tim Litbang HR (Asep Mulyana MA dan Rachmat, M.Si Mhs Doctoral Ilmu Pertanian Universitas Brawijaya Malang) dan Jajaran Redaksi HR dikomandoi Pemred HR Subakti Hamara, S.IP., Adi Karyanto, S.IP., dan Redpel Eva Latifah, Deni Supendi.
Dalam diskusi Skuad Secangkir Kopi Panas dengan tema “Upaya Meningkatkan Daya Beli Masyarakat”. Kasus tersebut sangat krusial, salah-satu pekerjaan Walikota Banjar DR. Herman Sutrisno, masih belum bisa menerobos meningkatkan daya beli masyarakat padahal sisa waktu memimpin Kota Banjar selama dua pariode yang tinggal beberapa bulan lagi, belum berhasil terangkat.
***
Dalam diskusi ini memberi celah upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat, ini merupakan tugas Walikota Banjar yang baru, harus memiliki kekuatan daya ungkit meningkatkan daya beli masyarakat. Bila tidak bisa, tidak tahu bagaimana ceritanya, karena dalam kepemimpinan DR. Herman selama dua pariode sudah berhasil membangun infrastrukur yang bisa menunjang untuk meningkatkan daya beli masyarakat. (Baca wawancara dengan DR Herman Sutrisno mantan Presidium FPSKB menuju daerah otonomi 10 tahun Kota Banjar dan menjadi Wali Kota Banjar pertama menjabat selama dua pariode).
Kita sepakat perlu adanya perubahan mindset (pola pikir) masyarakat kota Banjar. Pimpinan Umum HR memandu diskusi ini menggunakan energi positif. Mencontohkan, komunitas adat Kesepuhan Ciptagelar. Dimana padi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat itu.
Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Di Ciptagelar panen padi hanya dilakukan sekali dalam setahun, hal ini berbeda dengan masyarakat pada umumnya melakukan panen 3-4 kali dalam setahun. Sistem penanaman lahan pun memiliki aturan, yaitu lahan digunakan untuk menanam padi sekali dalam setahun dan diselingi menanam sayuran agar unsur hara di dalam tanah tidak rusak dan kembali netral.
Terletak di antara lembah pegunungan Halimun, warga kasepuhan adalah masyarakat adat yang bersandar kepada budidaya padi. Sebelum negara Indonesia terbentuk, bahkan jauh sebelum bangsa Barat pertama sampai ke kepulauan Nusantara, pada 644 tahun yang lalu (1368 M), komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar telah menyelenggarakan ritual perayaan padi yang eksis hingga saat ini.
Pada sisi filosofis masyarakat adat Ciptagelar, seluruh sendi-sendi kehidupan adat didasarkan kepada kalender siklus padi. Dari padi ditanam hingga padi dipanen, maka terdapat berbagai macam ritual yang dilakukan yaitu: Ngaseuk, Sapang Jadian Pare, Selamatan Pare Ngidam, Mapag Pare Beukah, Upacara Sawenan, Syukuran Mipit Pare, Nganjaran/Ngabukti dan Ponggokan. Seren Taun sendiri adalah ritual terakhir dari proses tersebut, sebagai wujud syukur terhadap anugerah alam.
Dengan konsep kosmos, padi dengan demikian menjadi pusat kehidupan masyarakat. Sebagai bentuk penghormatan tertinggi, padi dipersonifikasikan sebagai seorang dewi, yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang menampakkan dirinya dalam bentuk padi.
Karena padi adalah pasangan hidup manusia, maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk terus merawatnya, sejak ia ditabur di sawah hingga waktu panennya kelak. Dengan filosofi ini, maka masyarakat kasepuhan pantang untuk memperjualbelikan padi.
Berbeda dengan pola pertanian intensifikasi, maka siklus panen padi di Kasepuhan hanya dilakukan satu kali setahunnya selama 5-6 bulan untuk selebihnya diistirahatkan. Masyarakat adat percaya bahwa tanah perlu dipulihkan, dikembalikan untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan alam.
Lahan pertanian padi tidak boleh menggunakan kimia, kecuali menggunakan bahan yang tersedia di alam. Dengan pelbagai kearifan lokal ini, maka di Ciptagelar tidak pernah terjadi serangan hama padi seperti sering terjadi di tempat lain yang mempraktekkan pertanian intensif.
Upacara Seren Taun telah berlangsung sejak tahun 1368, memperlihatkan bagaimana kearifan nilai tradisi budidaya pertanian padi Kasepuhan telah berjalan sejak dahulu.
Dari akumulasi pengetahuan berabad-abad, maka lumbung-lumbung masyarakat Kasepuhan merupakan bank genetik dari berbagai varietas padi. Aki Karma, salah seorang Baris Kolot menyampaikan kepada Mongabay.co.id bahwa setidak-tidaknya terdapat 140 jenis varietas padi yang dikenal oleh masyarakat adat Ciptagelar. Seluruh varietas padi ini terawetkan dalam lebih dari 8.000 lumbung yang ada di seluruh wilayah kasepuhan.
Padi yang tersimpan di lumbung tidak dipisahkan dari tangkainya, tetapi tetap tergantung dalam keadaan terikat menggunakan tali bambu (pocongan). Pocong-pocongan padi disimpan pada galah bambu dengan menggunakan batang kayu yang bercabang. Maksud penyimpanan padi dengan cara ini adalah agar padi dapat mengering selama dibawa dan tetap dapat dipertahankan kadar airnya. Sistem penyimpanan ini menyebabkan padi menjadi tidak rusak akibat kelembaban.
Bentuk leuit yang unik; berpintu satu, berbentuk rumah panggung kecil dan beratap rumbia dirancang agar lumbung tidak bocor dan tidak mudah untuk dimasuki oleh hewan seperti tikus.
Rata-rata setiap keluarga di Ciptagelar memiliki beberapa lumbung padi kecil, dimana satu lumbung dapat menampung 500-1.000 pocong padi. Umumnya 1.000-2.000 pocong padi ekuivalen untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pangan untuk satu keluarga selama setahun. Secara produktivitas, sebuah lahan sawah berukuran 1 patok (400 meter persegi) dapat dihasilkan rata-rata 50-60 pocong padi..
Tapi kampung adat Ciptagelar, oleh perkembangan zaman padi, sayuran, buah-buahan, ikan dan binatang ternak seperti kambing dan ayam dijual kepada masyarakat luar yang membutuhkan. Bahkan beras dari daerah gunung Halimun dan Gunung Geude sekarang di ekspor dijadikan peluang usaha oleh perusahaan dari kota.
Yang menciptakan bisnis berbasis pertanian (agrobisnis), agroindustri, dan agrowisata yang mengangkat laju pertumbuhan ekonomi masyarakat yang hidup di kawasan Gunung Halimun dan Gunung Geude. Dengan tidak terasa masyarakat di sekitar itu terangkat daya belinya.
Dengan Kota Banjar bervisi agropolitan tercantum dalam RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah) dan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Konsep hidup masyarakat adat Ciptagelar bisa dipakai inspirasi oleh Pemkot Banjar untuk bisa memproduk padi organik, sayuran dan buah-buah organik.
Kesimpulan dari analisis Skuad Secangkir Kopi Panas, pelaksanaan pertanian organik tidak hanya menyehatkan akan tetapi menguntungkan bagi petani baik langsung maupun tidak langsung. Pemkot Banjar harus mendapat dukungan dari legislatif (DPRD) Banjar dalam kebijakan politik dan penganggaran untuk pengembangan dan keberhasilan pertanian organik.
Guna memproduksi pangan organik yang sehat, baik bagi produsen maupun konsumen dan keseimbangan ekosistem lingkungan pertanian. Pemkot Banjar diharapkan mencanangkan program Go Organic untuk menunjang ketahanan pangan dan kemandirian di bidang pertanian.
Dengan digulirkannya program tersebut diharapkan berdampak kepada sektor swasta (industri pupuk organik, pestisida organik, baik skala besar maupun skala rumah tangga) sebagai pelaku usaha untuk turut serta berpartisipasi mensukseskan ketahanan pangan dan kemandirian pertanian.
Kota Banjar memiliki areal sawah seluas 3,318 ha yang terdiri sawah pengairan teknis seluas 1,787 ha, sawah tadah 1,333 ha, setengah teknis198 ha dengan rata-rata indek pertanaman nilai 200 (2 x tanam), luasan tersebut memiliki potensi untuk pelaksanaan pengembangan padi organik dalam mendukung Banjar Go Organic guna menyukseskan Banjar Menuju Agropolitan.
Untuk menyukseskan upaya tersebut diharapkan Pemkot Banjar, secepatnya membuat pilot-pilot percontohan padi organik setiap wilayah kelompok tani minimal 10 ha setiap kelompoknya yang didukung dengan anggaran dari APBD kota Banjar. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, bahwa jumlah kelompok tani dewasa yang aktif saat ini sebanyak 153 kelompok dengan sumber daya manusia 7.734 orang.
Andai saja percontohan tersebut dilaksanakan maka diharapkan padi organik seluas 1530 ha, luasan tersebut cukup untuk membuat komoditas unggalan padi organik di Kota Banjar. Salah satu upaya meningkatkan daya beli masyarakat, dan ciri khas ikon Kota Banjar.
Disisi lain Tim Litbang mencermati, penyusunan Visi dan Misi Kota Banjar dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Banjar. Dalam dokumen FGD (Focus Group Discussion) disebutkan bahwa pengembangan agropolitan menggambarkan perencanaan yang berbasis area pertanian.
Agropolitan berupaya membangun masyarakat dari dalam dengan basis pertanian. Sektor pertanian tersebut dapat dikembangkan lebih luas di masa depan, dan menjadi basis ekonomi kota yang kuat. Kegiatan perekonomian Kota Banjar juga berpeluang dikembangkan lebih luas ke bidang bisnis berbasis pertanian (agrobisnis), seperti agroindustri, jasa-jasa pertanian, agrowisata, serta koleksi dan distribusi produk-produk pertanian.
Kemudian setelah itu agropolitan tercantum dalam RPJPD dan RPJMD Kota Banjar. Bahkan juga menjadi visi incumbent saat Pilkada 2008. Sejak itulah agropolitan mulai menjadi pembicaraan. Yang sangat disayangkan, sudah lama agropolitan digagas, tapi sampai hari ini belum pernah ditemukan blue print atau master plan agropolitan Kota Banjar. Semua menggunakan persepsinya sendiri.
Masing-masing OPD bergerak tanpa koordinasi. Tidak ada integrasi kegiatan satu sama lain yang mengarah pada tujuan agropolitan. Memang ada RPJMD yang menjadi acuan OPD, tapi pertanyaannya apakah RPJMD itu mencerminkan spirit agropolitan. Coba saja baca RPJMD, agropolitan hanya dituliskan pada pendahuluan pengantar visi Kota Banjar Tidak ditemukan dokumen apapun yang menjelaskan strategi pencapaian agropolitan. Maka tidak berlebihan jika Tim Litbang HR mengatakan:
RPJMD itu belum menggambarkan agropolitan. Ya kalau boleh ngomong baru 20% saja. Belum terlihat integrasinya dari aspek hulu sampai hilir. Padahal itu penting untuk membangun sinergi antar instansi.
Ketidaksiapan Pemkot Banjar dalam implementasi visi agropolitan bisa ditelusuri dalam dokumen Rakor Bidang Ekonomi tanggal 3 Maret 2011. Sampai hari itu, belum ada rencana tata ruang kawasan agropolitan, tidak ada blue print/masterplan. Dan masing-masing OPD berjalan sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa sejak 13 Maret 2008 sampai 3 Maret 2011 Pemkot tidak serius menjadikan Banjar sebagai Kota Agropolitan.
Perlu diingat bahwa konsep agropolitan itu bukan hanya mucul tiba-tiba. Konsep ini sudah ada sejak lama dan sudah diterapkan di banyak daerah. Jadi, tidak bisa menjalankan agropolitan hanya sebatas persepsi. Andai saja ada dokumen yang menjelaskan tentang konsep agropolitan versi Kota Banjar, maka kita bisa membandingkannya dengan konsep umum agropolitan dan konsep agropolitan yang telah diterapkan di tempat lain. Karena tidak ada acuan yang pasti, maka konsep agropolitan Banjar hanya bisa diketahui dari pernyataan para pemangku kebijakan di Kota ini.
Jika dengan demikian, itu namanya bukan agropolitan. Salah seorang pemerhati Kota Banjar mengatakan menjadi pengumpul komoditas pertanian dari luar daerah Banjar itu sudah terjadi sejak dulu. Banjar menjadi tujuan penjual dan pembeli. Jika seperti itu, tidak ada yang istimewa dengan Visi Agropolitan. Justru sekarang ini seharusnya ditingkatkan perannya, mulai dari aspek hulu sampai hilir, mulai dari produksi, pengolahan sampai pemasaran secara terintegrasi.
Tim Litbang HR mengkritisi hal tersebut, karena tak ada gading yang tak retak, kesepahaman dengan Skuad Secangkir Kopi Panas ada dan mendukung bagaimana upaya mendongkrak daya beli masyarakat. Tapi Kota Banjar harus serius melaksanakan visi dan misi Agropolitan. Bila ingin berhasil dan memperjuangkan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat Kota Banjar. Selamat Berjuang menuju dan mengantarkan kesejahteraan rakyat. Siapa saja walikota Banjar nanti, harus memiliki tekad berjuang pro rakyat. (Adi/Eva)