Di bawah teriknya mentari, Senin (11/2), Komar (30) dengan peluh keringat bercucuran membasahi tubuhnya, masih terlihat merayap di atas tebing gunung gembok Desa Sinartanjung, Kecamatan Pataruman. Tangannya yang keras, terlihat begitu terampil memanjat sambil mengeruk tanah.
Tebing setinggi hampir mencapai 20 meter dengan kemiringan sekitar 120-130 derajat itu, dia panjat tanpa menggunakan alat bantu. Bahkan, tidak juga nampak adanya perlengkapan keselamatan.
Komar merupakan satu di antara penduduk setempat yang mengantungkan hidup dengan bekerja sebagai buruh penggali tanah di tebing Gunung Gembok. Sebagai buruh penggali tanah tebing, Komar dan buruh lain harus berjudi dengan malaikat maut.
:Pernah kejadian memang, dulu, ada buruh tertimpa longsoran batu besar saat menggali tanah di atas bukit,” ujar Komar, sambil menunjuk ke arah bukit yang tak jauh dari tempatnya.
Soal maut, memang sudah ada yang mengaturnya. Kalaupun memang sudah saatnya, kemudian takdir menentukan dia harus berakhir dimana dia bekerja, Komar akan pasrah dan menerimanya.
“Namanya juga takdir. Sedang bekerja terus meninggal, apa saat sedang tidur, mana ada yang tahu,” timpal Boyo, pria paruh baya yang juga seorang buruh penggali tanah.
Boyo juga bilang, untuk menggali tanah tebing itu, dia dan buruh lain hanya mengandalkan linggis, sekop dan cangkul. Tanah hasil galian para buruh, kemudian diangkut dengan mobil pick up, dan dikirim untuk mensuplai kebutuhan bahan baku bata merah di daerah Pataruman.
“Penghasilan menjadi buruh gali tanah disini memang tidak sebanding dengan bahaya yang mengancam,” kata Boyo.
Menurut Boyo, satu pick up tanah, dikirim sampai tempat tujuan, dihargai Rp 35 ribu. Dalam sehari, dia dan rekannya, jika sedang semangat dan cuaca bagus, bisa mengirim tanah galian sampai 8 hingga 10 rit.
Uang hasil penjualan itu tidak dibawa pulang sendiri. Dia menyisihkan Rp. 8-10 ribu per satu kali kirim, untuk pemilik lahan. Sisanya, dibagi untuk biaya operasional kendaraan, makan dan upah 2 buruh lainnya. ***