Ciamis, (harapanrakyat.com),– Polemik undang-undang (UU) Yayasan semakin meluas, tidak hanya di Ibu Kota Propinsi Jawa Barat (Jabar), seperti Bandung, dan kota lainnya, dimana banyak Yayasan yang memayungi penyelenggaraan pendidikan khususnya perguruan tinggi, polemik itu juga sampai ke daerah.
UU Yayasan menjadi masalah pasca lahirnya UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 mengenai Yayasan, dan PP No. 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan. Betapa tidak, salah satu klausul UU tersebut menyatakan, bahwa suatu Yayasan yang tidak menyesuaikan diri dengan AD/ART dalam UU terbaru bisa dilikuidasi alias dibubarkan.
Ironisnya, penyesuaian AD/ART baru hanya diberi waktu satu tahun dari tahun berlakunya UU tersebut. Bahkan di klausul lainnya disebutkan, penyelenggara Yayasan atau organ Yayasan, seperti Pengurus Pembina atau Pengawas tidak memperoleh gaji atau honorarium dari hasil usaha Yayasan.
Sontak UU Yayasan ini membuat Yayasan Penyelenggara Pendidikan yang tergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) meradang. Langkah seribupun diambil Pihak ABPPTSI, mulai dari audiensi dengan Kemdiknas, Road Show seminar UU Yayasan, hingga rencana audiensi ke DPR dan uji materiil UU Yayasan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
âJelas sekali syarat muatan politis UU Yayasan ini, kalau mau menertibkan Yayasan tidak seperti ini caranya, kok kami yang jadi korban. Ini akan berdampak luas dan bisa menimbulkan gejolak sosial,â ungkap Ketua ABPPTSI Jabar-Banten, Drs. Sali Iskandar, Senin (19/11), seusai menjadi pembicara pada seminar Pro-Kontra UU Yayasan di Auditorium Universitas Galuh.
Sali mengatakan, bahwa munculnya UU Yayasan ini selain syarat dengan kepentingan politis, juga dinilai sangat diskriminatif. Menurut dia, UU Yayasan tersebut akan berdampak pada terjadinya PHK (putus hubungan kerja) Guru dan Dosen.
Di samping itu, banyak biaya yang harus dikeluarkan yayasan untuk membayar pesangon. Bahkan lebih jauh, Yayasan dibubarkan, penerimaan siswa baru akan dipertanyakan pihak lain.
âDi wilayah Jabar dan Banten saja ada sekitar 327 Yayasan yang menaungi Perguruan Tinggi. 247 PTS lainnya tidak dipayungi Yayasan. Coba saja bayangkan,â tandasnya.
Hal lain yang krusial, kata Sali, dalam UU Yayasan baru tersebut tidak secara jelas mensyaratkan tentang Ketentuan Yayasan yang memayungi penyelenggaraan pendidikan baik pendidikan Menengah atau Tinggi.
â Inikan ironis, perlu diingat sebelum munculnya UU Yayasan, masyarakat sudah banyak yang mendirikan lembaga pendidikan,â imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua ABPPTSI Pusat, Thomas Sutano, menyatakan, Yayasan bisa dibubarkan jika jangka waktu yang ditetapkan AD/ART berakhir, tujuan yayasan sudah atau tidak tercapai, putusan pengadilan, melanggar ketertiban umum dan asusila, dan pailit.
Ketua ABPPTSI Priangan Timur, Drs. KH. Djuan Ahmad Asâary, MP.d, mengatakan, UU Yayasan baru tersebut perlu uji materil kembali oleh Mahkamah Konstitusi. Dia juga berharap, Yayasan dan Ormas Perserikatan mendapoat perlakuan yang sama dari pemerintah.
Ditempat yang sama, Ketua Yayasan Pendidikan Galuh, R. Dida Yudanegara, SH, M.Si mengatakan, akan mendukung langkah ABPTSI Pusat untuk segera melakukan Uji Materiil UU Yayasan yang menuai polemik tersebut.
â Kami akan ikuti langkah ABPTSI ke MK,â pungkasnya. (DK)