Problem utama bangsa ini korupsi. Akarnya menyangkut kejujuran dan karakter. Kita acung jempol, langkah cepat dan reaktif spontan menyusul tewasnya pelajar bernama Alawy Yusianto Putra dan Deni Januar di Jakarta.
Deklarasi damai dua sekolah yang tawuran, kesigapan aparat keamanan Polri, intansi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, aparat pemerintah daerah setempat, bahkan kesedian TNI untuk ikut turun tangan. Bagus ! dari antara usulan-usulan kongkret, tercetus penurunan kepala sekolah yang muridnya terlibat tawuran, boleh juga !.Kita setuju penindakan hukum pelaku tawuran, apalagi yang sampai menghilangkan nyawa orang. Kita harapan semua tidak selesai hanya dengan niat baik dan kegeraman, komentar, deklarasi damai, dan hangat-hangat tai ayam, tetapi dilaksanakan.
Tawuran pelajar di Jakarta tidak hanya terjadi dalam minggu-minggu ini. Sudah sering terjadi. Penyebab dan situasinya sangat komplek. Itu tidak hanya terjadi karena hanya persaingan gengsi sekolah, yang menengah atas umum versus sekolah kejuruan, sekolah elit versus pinggiran, tetapi serba tali-temali. Yang meningkat tidak hanya frekuensi kejadian, tetapi juga alat yang digunakan dan tingkat kebringasannya.
Saat ini, tawuran pelajar termasuk kejahatan. Lupakan dahulu pertimbangan tawuran sebagai bagian dari proses pencarian kedewasaan remaja. Tawuran pelajar adalah perilaku menyimpang yang pengertiannya meluas ke nafsu menyelakakan orang lain. Mencegah agar tidak menular, perlu tindakan hukum tanpa kecuali dan tebang pilih.
Benar juga kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh, sekolah bukan satu-satunya yang harus memikul beban tanggung jawab. Kalau persoalan tawuran dipikul pundak sekolah dan guru, artinya sama saja melempar tanggung jawab. Sebaliknya, sekolah juga tidak bisa berdalih bahwa kejadian di luar halaman sekolah.
Sekolah dan guru terlanjur tidak berwibawa. Oleh kondisi masyarakat yang meremehkan profesi guru, oleh tugas pokok lulusan 100 persen dalam ujian nasional, sebagai kriteria keberhasilan oleh balas budi kepada orang tua siswa.
Dalam kondisi kekerasan fisik dan non fisik dalam masyarakat, perasaan ketidak hadiran dan kelemahan pemerintah, praksis persekolahan yang mendahulukan keberhasilan ujian nasional, tindakan kuratif yang tegas perlu ditegakan. Ketika dikecam sekolah tidak menyelenggarakan pendidikan karakter jangan disempitkan dalam bentuk mata pelajaran. Sudah saatnya hukum atas kejahatan ditegakkan.
Aparat kepolisian, orang tua, sekolah berikut komunitas dan guru, aparat pemda, dan Kemendikbud bersatu padu tidak sekedar membuat deklarasi, turun tangan menegakan hukum atas kejahatan remaja, membawa dua dampak positif sekaligus. Pertama, menjauhkan anak remaja dari budaya kekerasan yang melanda sekitarnya. Kedua, memberikan contoh, penegakan hukum bisa dilakukan di tengah keadilan praksis peradilan sekedar komoditas.***