Kesuburan negeri ini sudah terkenal sejak zaman dahulu. Pujangga masa lalu melukiskannya âgemah ripah loh jinawiâ. Artinya makmur sangat subur tanahnya. Bahkan Koes Plus yang lahir di tahun 1960-an, menyanjung negeri ini dengan lirik ââ¦orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanamanâ¦..â.
Dua bulan lalu terjadi pertemuan dengan seorang petani-pengusaha. Petani-pengusaha yang masih muda ini melihat peluang bisnis di sektor pertanian, terutama usaha tani padi yang sangat menjanjikan.
Saat banyak anak muda meninggalkan sawah, dia justru kembali ke sawah. Dia memang tidak punya sawah sendiri. Kalaupun ada, luasnya kurang dari 0,5 hektar warisan orang tuanya.
Pendekatan baru dia lakukan. Tidak tanggung-tanggung, dia menyewa 24 hektar sawah di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dia meminjam uang dari bank Rp. 1 miliar. Dari uang itu, Rp. 500 juta dipakai untuk investasi mesin penggilingan dengan lantai jemur. Sebesar Rp. 300 juta untuk sewa lahan dan modal budidaya. Selebihnya untuk modal menebas gabah petani.
Perhitungan bisnis sederhana. Produksi padi tiap hektar sawahnya ditargetkan 6 ton gabah kering giling (GKG). Setahun, dia paksa menanam padi tiga kali. Dengan begitu, produksi per hektarnya 18 ton GKG.
Karena mesin penggilingannya baru dan modern, rendeman gabah beras bisa 65 persen. Dengan kata lain, untuk 18 ton GKG bisa diolah menjadi 11,7 ton beras. Dari jumlah itu, dia targetkan memproduksi beras premium 60 persen dan sisanya medium. Dengan harga rata-rata beras Rp. 7.000 per kilogram, untuk 11,7 ton akan menghasilkan uang 81,9 juta.
Karena dia mengusahakan lahan 24 hektar, pendapatan kotor setahun Rp. 1,9 miliar. Dengan memperhitungkan biaya produksi maksimal 40 persen, keuntungan bersih masih di atas Rp. 1 miliar. Belum lagi mesin penggilingannya masih menghasilkan katul yang dijual Rp. 2.000 per kg juga pendapatan dari jasa penggilingan dan pengolahan gabah hasil tebasan petani.
Dia sedang merencanakan memasok langsung beras kualitas premium ke pasar modern. Kalau itu bisa dilakukan, pendapatannya akan naik tajam. Bisnis memang ada risiko, termasuk kalau gagal panen. Namun, dia tidak mau berpikir gagal.
Usaha tani padi sekarang mengalami pergeseran. Anak-anak muda berpikiran bisnis mulai masuk ke sawah, tetapi mereka tidak datang sebagai buruh tani.
Pendekatan usaha tani pada disingkirkan jauh-jauh. Mereka mulai berbisnis. Budidaya padi dan pengolahan gabah adalah lahannya. Apalagi, pasar dan harga beras terus naik. Konsumsi beras premium juga meningkat tiap tahun.
Mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswodo Yudo Husodo menengarai tren perubahan usaha tani padi ini. Siswono dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR dengan Kementerian Pertanian menyatakan, pola usaha yang sama sudah berjalan pada tanaman tebu dan hortikultura. Sekarang merambah ke padi.
Kondisi ini salah satunya yang bisa menjelaskan mengapa luas pengusahaan pertanian naik dari 0,3 hektar menjadi 0,6 hektar. Di sisi lain, luas kepemilikan sawah lahan justru menyusut.
Apa yang melatarbelakangi anak-anak muda terjun ke sawah? Mereka sadar, kalau dikelola dengan baik, menjadi petani juga bisa kaya. Mereka belajar dari orang tua mereka. Bertani padi tidak akan mendatangkan kesejahteraan kalau dikelola dengan pendekatan usaha tani.
Di tangan petani-pengusaha generasi muda ini, tanpa disuruh, produktivitas padi akan digenjot setinggi-tingginya. Prinsip-prinsip ekonomi pasar juga mereka kembangkan secara maksimal untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Selamat datang anak-anak muda ! (BH/HEP/KPS)