Indonesia harus belajar untuk mengelola perbedaan, termasuk konflik, yang tidak jarang menimbulkan kekerasan dan kerusakan. Bangsa Indonesia yang majemuk dari segi suku, agama, etnik, dan lainnya bukan lagi wacana, melainkan fakta yang harus diterima.
Jumâat 1 Juni pekan lalu, kita memperingati hari lahir Pancasila Juni 1945. Bung Karno menyampaikan pokok-pokok pikiran ke-Indonesian yang kemudian hari menjadi ideologi negara. Pancasila menjadi jiwa segala kebijakan atau menjadi keputusan politis kenegaraan. Lambang Garuda Pancasila, menjadi petunjuk mengelola kekuasaan.
Kenyataannya, selama 32 tahun orde baru, Pancasila dibelokan untuk mempertahankan kekuasaan. Di era reformasi, Pancasila tidak lagi dilafalkan dalam pidato resmi, penataran, ataupun mata pelajaran/mata kuliah, bahkan terkesan sengaja dilupakan.
Manakah ukurannya ? Dari keputusan-keputusan politik yang tidak didasarkan atas keadilan bagi rakyat. Padalah keadilan sosial lahir dari isi Pancasila, kedua kaki Garuda Pancasila yang menyengkram Bhineka Tungga Ika melambangkan kekuasaan negara berpijak pada ke bhinekaan.
Banyak sudah analisa mendalam tentang Pancasila, yang semua bermuara pada memperkuat, memperyakin, dan menegaskan pilihan Pancasila sebagai ideologi negara. Yang terjadi, memang bahkan merujuk pada praksi kenegaraan sejak reformasi digulirkan, ada yang menyebut Pancasila berada di ujung tanduk, artinya kalau terus dibiarkan, bisa lepas.
Lepas dalam arti dilupakan, bagian dari keteledoran kita merawatnya, ancaman yang bisa melemahkan pilar-pilar eksistensi Negara Republik Indonesia. Padahal, bangunan negara yang disadarkan secara kokoh dan kukuh atas pilar-pilar itu masih dalam proses pembentukan/penyempurnaan.
Upaya revitalisasi Pancasila yang riuh diwacanakan, hadirnya pusat-pusat studi Pancasila diberbagai perguruan tinggi, niscaya merupakan dari bagian merawat ideologi negara. Partai tanpa ideologi saja jelas tanpa dasar berpijak, apalagi ideologi negara yang dibiarkan merana.
Revitalisasi Pancasila harus diwujudkan dalam mengembalikan kebijakan politik yang menempatkan rakyat sebagai pusat. Praksi politik yang sehat tentu bukan silang pendapat di tribun-tribun kekuasaan dan media, bukan pencitraan demi kelanggengan kekuasaan oliargi dan dinasti keluaraga, melainkan yang menghasilkan perbaikan kualitas hidup rakyat.
Reformasi yang intinya perubahan perlu juga diwujudkan dalam perbaikan hak-hak asasi, yang diantaranya dalam bentuk kualitas kehidupan rakyat. Perasaan tidak hadirnya pemerintah, keteledoran berbagai kebijakan, maraknya korupsi, merupakan reperkusi sikap ketidak berpihakan kekuasaan kepada rakyat.
Ketika kita mencari-cari calon-calon pemimpin nasional, tentu nuasa upaya kita menjaga âPancasila Tidak Terabaikanâ masuk kotak sebagai bagian dari rujukan terpenting. ***