Pada 1975, 1982, dan 1986 aku pernah berkunjung ke kampung Baduy. Hanya berjarak kurang lebih 150 km dari Jakarta. Desa Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Prov. Banten, masih menyimpan kearifan warga Baduy. Mereka kukuh memegang adat warisan leluhur. Ketaatan mereka kekerasan, pertikaian, atau bermacam aneka kejahatan yang selama ini sering terdengar terjadi di negeri kita.
Akhir April lalu aku ke Jakarta, teman kuliah keponakanku yang aktif di LSM Lingkungan Hidup meminta informasi soal kampung Baduy, dia mengetahui dulu waktu aku bekerja di salah satu media nasional di Jakarta pernah beberapa kali mengunjungi Desa Kanekes. Dengan senang hati sedikit aku memberi informasi yang aku alami soal kampung Baduy.
Tiga hari kemudian teman keponakanku menceritakan pengalamannya kepadaku, intinya tidak ada perubahan seperti apa yang sedikit aku ceritakan. Perjalanan teman keponakanku, mengisahkan lebih dari 1000 laki-laki Baduy, baik dewasa maupun anak-anak, takzim duduk bersila di lantai panggung ataupun berdiri di halaman rumah Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes Jum’at akhir April lalu.
Seperti tahun lalu, mereka menunggu pesan dari Jaro Dainah sebelum berangkat melaksanakan Seba Baduy. Hanya sekitar 15 menit, Jaro Dainah memberikan arahan agar seluruh peserta Seba perilaku dan ketertiban selama digelarnya acara tersebut.
Jaro Dainah pun mendelegasikan kepada beberapa perwakilan yang berasal dari beberapa kampung tersebut. Begitu arahan singkat namun padat itu usai, sontak bergeraklah seribuan warga dengan tertib meninggalkan rumah Kepala Desa Kanekes.
Ratusan warga terlihat memanggul hasil bumi, seperti pisang, talas dan beras ketan yang kemudian mereka naikan ke truk yang parkir di Terminal Ciboleger. Hasil bumi itu selanjutnya akan mereka serahkan saat Seba digelar di Pendopo Bupati Lebak, Jum’at malam dan Pendopo Gubernur Banten, Sabtu malam di akhir April lalu.
Pada dua kesempatan itu, Jaro Dainah melaporkan kepada Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah soal kondisi warga Baduy yang merasa aman dalam kehidupan sehari-harinya.
Di hadapan hadirin dan khalayak, Jaro pun menyampaikan bahwa di desa mereka tidak ada tindak kejahatan. “Silahkan bapak dan ibu mengecek. Selama ini tidak pernah ada penjara yang di dalamnya ada warga Baduy,” seloroh Jaro Dainah disambut tepuk tangan meriah pejabat sipil, polisi dan militer yang mengikuti acara Seba.
Pada sebuah kesempatan, anggota LSM Lingkungan Hidup dari Jakarta berbincang di rumah Jaro Dainah, mengatakan kondisi Desa Kanekes dengan tingkat kriminalitas nol tersebut tidak lepas dari masih ketat warga menjaga dan memenuhi aturan adat. “Aturan menjaga hutan, misalnya hingga kini masih tetap kami pegang teguh karena warga tahu akibatnya kalau hutan sembarang ditebang,” katanya.
Ketua Adat Musyawarah Masyarakat Baduy Kasmin mengatakan, perbedaan pendapat atau perselisihan kecil di Baduy mungkin saja terjadi. “Tetapi warga Baduy dapat menyelesaikan melalui musyawarah sehingga tidak ada dendam karena semua pihak menerima keputusan,” katanya.
Musyawarah dimaksud terdiri dari bermacam tingkatan, mulai musyawarah di tingkat kampung, musyawarah yang melibatkan tokoh masyarakat di desa, hingga musyawarah adat yang merupakan tingkat tertinggi.
Aturan adat dan amanat leluhur Baduy tidak disimpan dalam bentuk tulisan, tetapi dituturkan dari generasi ke generasi. Meski demikian, warga Baduy selalu menjaga dan mentaatinya. Kapolres Lebak mengakui, memang tidak ada warga Baduy yang melakukan kejahatan yang terlibat tidak kriminalitas. Malah kadang justru warga Baduy yang menjadi korban orang lain di luar Baduy, misalnya tanah diserobot. Bagaimana dengan kita, bisakah seperti urang Baduya.