Ciamis, (harapanrakyat.com),- Hujan kritik mewarnai peresmian Pusat Kajian Sejarah Galuh, Rabu (11/4), di kompleks FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Universitas Galuh (Unigal). Peresmian gedung tersebut dilakukan oleh Dirjen Dikti Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Ir Djoko Santoso, M.Sc.
Sejumlah undangan dari kalangan budayawan tatar sunda, yang menamakan diri Barisan Olot Tatar Sunda dan undangan dari kalangan umum lainnya, banyak menyampaikan kritik dan merasa prihatin terhadap penerapan budaya sunda di Jawa Barat, tidak terkecuali di Kampus Unigal.
Kritik yang mereka sampaikan, mulai dari Penerapan Aksara dan bahasa Sunda di lingkungan Tatar Sunda, termasuk perlindungan cagar budaya sunda, hingga penerapan mata kuliah Bahasa Sunda di Unigal. Inikah tanda kerinduan penerapan budaya galuh yang mulai menggejala?
Eka Santosa, Sekjend Masyarakat Adat Tatar Sunda, mengutarakan pesan dan kesan, secara tajam. Dia mengkritik penerapan Peraturan Daerah (Perda) Tahun 2003 No. 5, 6, 7 tentang Bahasa, Aksara dan Seni budaya pariwisata di Jawa Barat.
Padahal, menurut Eka, saat menjadi Ketua DPRD Jabar tahun 1999-2004, pihaknya waktu itu berjuang secara mati-matian untuk menggolkan Peraturan tersebut.
“Kami dan kawan kawan di DPRD, saat itu berjuang mati-matian menerapkan perda itu. Namun, hingga kini kami tidak melihat aplikasi atau penerapannya. Harusnya, pihak Pemprov memulainya dulu, sebelum diturunkan ke Perda tingkat Kabupaten atau kota di Jawa Barat,” ungkapnya.
Eka menambahkan, jika Pemprov Jabar terus bersikap “dingin” terhadap peraturan itu, bukan tidak mungkin pihaknya sebagai warga Jawa Barat akan mem-Pra-TUN-kan Gubernur. “Kalau terus bersikap seperti itu, bukan tidak mungkin, saya akan mem PraTUN-kan Gubernur, karena ini semua warisan budaya yang harus dilindungi dan diterapkan,” tegasnya.
Lontaran kritik lainnya datang dari Kepala Sekolah SMPN 2 Ciamis, Dr. Agus Try. Dia mengungkapkan, bahwa Unigal sudah mulai saatnya menerapkan mata kuliah bahasa sunda bagi mahasiswanya.
“Sudah saatnya Unigal mempunyai mata kuliah kesundaan, supaya kelestarian budaya sunda tetap terpelihara,” ungkapnya.
Hal senada diungkapkan oleh Daday, tokoh budaya asal Kawali. Dia mengatakan, bahwa pihaknya sangat mengapresiasi pendirian pusat kajian sejarah Galuh tersebut.
“Saya sangat mengapresiasinya. Namun, Pemerintah harus lebih menyambut gerakan pelestarian budaya sunda. Bahkan, Pusat Kajian tersebut bukan hanya jadi tugas mahasiswa sejarah, tapi penggalian sejarah dalam berbagai bentuk harus menjadi tugas civitas akademika secara keseluruhan,” ujarnya.
Daday mengutarakan, bahwa Civitas Akademika Galuh jangan hanya seremonial belaka. Namun harus ada tindak lanjut secara konkrit seperti kajian-kajian yang dipublikasikan baik berupa jurnal maupun buku.
Tak ketinggalan kritik serupa dilontarkan oleh budayawan Ciamis dari padepokan budaya Cisaga, Aip. Ia mengatakan, bahwa saatnya Unigal menerapkan kurikulum kegaluhan. “Kurikulum kegaluhan saatnya dibuat, dan publikasi sejarah galuh berupa buku, sudah saatnya dibuat, jadi generasi muda teu pareumeun obor (tidak putus mata rantai kesejarahannya-red).” Ucapnya.
Kritik lainnya disampaikan Ketua LSM CGM, Hery. Dia mengatakan, bahwa pelestarian budaya lokal harus menjadi agenda bersama ditengah miskinnya penerapan bahasa sunda dan budaya sunda di lingkungan pemerintahan dan masyarakat.
“Ditengah miskinnya penerapan budaya dan bahasa sunda sebagai bagian penerapan budaya Galuh. Sesuai dengan namanya, Unigal harus menjadi lokomotif kebudayaan masyarakat Tatar Galuh,” tandasnya.
Ditemui terpisah, Dekan FKIP Unigal, yang juga Dosen Sejarah, Dr.H. Yat Rovia Brata, mengatakan, hadirnya para tokoh Sunda se-Jabar dan Banten pada peresmian Pusat Kajian Sejarah Galuh beberapa waktu lalu menunjukan apresiasi akan pelestarian budaya galuh.
“Kalau ada masukan atau kritik, hal tersebut sebagai tanda akan adanya kerinduan untuk membangun kembali budaya yang kini mulai tergeser seiring perkembangan jaman, akan tetapi ini tantangan yang harus dipecahkan bersama-sama,” pungkasnya. (DK)