Anak kecil itu kejar-kejaran dengan neneknya, yang membawa satu batang sapu lidi ubar kasurupan (obat kesurupan). Anak itu meledek neneknya engga kena, awas ya.. nenek itu pun tersenyum bercanda dengan cucunya. Ternyata persoalannya si cucu bolak-balik ke dapur sewaktu neneknya sedang menggoreng emping, terus mengambil emping tapi emping itu tidak dimakan sendiri melainkan dibagi-bagi pada teman sepermainannya.
Rupanya si nenek kesal juga sama kelakuan cucunya yang nakal itu, bukannya tak boleh dimakan soalnya menggoreng empingnya tidak banyak. Untuk menyediakan hidangan setelah si kakek pulang sholat Jumâat, si toples berisi emping itu disembunyikan takut habis disikat cucunya. Si cucu terus meledek neneknya, setiap masuk ke dapur nenek mengacung-ngacung satu batang sapu lidi seolah-olah akan dipukulkan. Hayo⦠berani sini, tantang neneknya, si cucu malah mengolok-olokan neneknya. Nenek korupsi, empingnya diumpetin. Korupsi apa kata neneknya membalas. Korupsi emping, ucap si cucu. Ayo⦠berani kesini ujar neneknya sambil mengacung-acung sapu lidi.
Dalam pandangan si cucu si nenek bohong, emping masih ada tapi diamankan biar tidak habis sama cucunya. Si cucu tidak mau berbohong setiap temannya meminta selalu dikasihnya, dia tidak mau bohong. Ya⦠yang repot neneknya. Jadi bohong itu = korupsi. Kebetulan waktu itu setelah sholat Jumâat saya diundang oleh kakeknya, sekedar silaturahmi meskipun tetanggaan paling ketemu bila sama-sama sholat Jumâat.
Kenapa si anak itu menuduh neneknya korupsi. Cerita si nenek dan kakek, si cucu itu sama ibu dan bapaknya tak boleh bohong. Bohong itu korupsi, kakeknya sama saya jadi tertawa. Bener juga ! Sepertinya semua orang pernah berbohong dan sebagian besar orang pernah korupsi kecil-kecilan.
Menggunakan sarana kantor untuk keperluan sendiri, bolos kerja, membeli sesuatu dengan uang lembaga, itu sebenarnya korupsi juga. Namun korupsi itu berkelompok, besar-besaran, sangat terorganisasi, direkayasa dan ditutupi bersama seperti disiarkan media. Merupakan sesuatu yang sangat sulit dibayangkan oleh sebagaian besar masyarakat awam. Bias persepsinya.
Eufemisme (Ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan) berlebihan menghalangi kita memahami esensi perbedaan baik-buruk dan benar-salah. Kita meminimalkan derajat kesalahan dari tindakan buruk yang dilakukan orang lain maupun diri sendiri. Kita menggunakan istilah dan pemaknaan baru atas tindakan buruk yang ada demi menciptakan harmoni dengan diri sendiri dan lingkungan.
Maka, bisa dimengerti bahwa cukup banyak pelaku korupsi, khususnya di Indonesia baik yang sudah tertangkap maupun tidak. Sepertinya tidak merasa malu ataupun disonan (Kombinasi bunyi yang dianggap kurang enak didengar) tentang dirinya sendiri. Mereka baik-baik saja secara psikologis, hidup bahagia, menjalankan ritual agama masing-masing seperti biasa, terus melakukan korupsi dengan berbagai alasan dan di depan publik mengumumkan tanpa beban bahwa dirinya dan organisasinya bersih korupsi.
Saya dikirim e-mail dari teman di Jakarta seorang penggiat anti korupsi tentang sinopsis cerita film berdurasi 30 menit. Empat film pendek Kita vs Korupsi terdiri atas empat film pendek, âRumah Perkaraâ, âAku Padamuâ, âSelamat Siang Risaâ, dan âPsst Jangan bilang Siapa-siapaâ. Payung besar empat cerita tersebut adalah perilaku koruptif manusia yang menjadi sumber dari tindak korupsi.
Kisah berasal dari lanskap tempat dan waktu yang berbeda-beda. âSelamat Siang Risaâ misalnya, berlanskap era tahun 1974 ketika peristiwa Malari meletus. âAku Padamuâ dan âPsstâ¦Jangan Bilang Siapa-siapaâ, berlatar kehidupan kaum muda kota hari ini. Adapun âRumah Perkaraâ berlanskap masyarakat desa.
Film ini menekankan bahwa keteladan merupakan faktor penting dalam penanaman nilai kejujuran. Risa mencontohkan perilaku sang ayah yang bersih dan jujur. Tokoh gadis dalam cerita âAku Padamuâ bercermin pada sikap Pak Markum, guru jujur berbakti. Pak Markum berkukuh untuk tidak menyogok guna mendapatkan surat keputusan sebagai pegawai negeri sipil. Sampai meninggal, guru itu tidak diangkat sebagai PNS. Ia memilih jujur dan tetap mengabdi.
Kepada murid-muridnya, Markum suka mendongeng. Salah satu nasehatnya ia sisipkan dalam dongeng. âKetika kamu menyerah kepada ketidakjujuran, maka matahari akan menangisâ¦. Dan halilintar akan tertawaâ¦.â Nasihat itu tersimpan di muridnya sepanjang masa. Ketika sang murid itu menjadi gadis dan hendak menikah di Kantor Urusan Agama, calon mempelai pria hendak menyogok petugas KUA. Namun, gadis itu dengan tegas menolak cara tersebut. âKalau tahu kamu begini (menyuap petugas), aku mikir dua kali untuk bilang ya pada kamuâ¦â
Kita vs Korupsi, mengingatkan bahwa perilaku koruptif tumbuh di masyarakat. Ia telah menjadi tabiat sehari-hari yang dianggap âbiasaâ. Dalam cerita âPssst⦠Jangan Bilang Siapa-siapaâ, dua siswa SMA dengan enteng dan riang ngobrol soal upaya mendapat duit dengan mudah tanpa rasa bersalah. Mereka hidup dalam keluarga koruptif.
Pencegahan korupsi perlu dilakukan sangat komprehensif, dari berbagai arah, secara serentak dan konsisten, serta sejak sedini mungkin. Pendidikan anti korupsi yang utuh, selain mengandung telaah berbagai disiplin ilmu, perlu dilibatkan komponen psikologi yang cukup besar. Kejujuran, moralitas, kebaikan, nilai benar-salah, dan tanggungjawab sosial, perlu ditelaah dalam kontek berbeda-beda agar anak sedini mungkin paham situasi ideal dan situasi riil yang sering berbeda dengan situasi yang ideal, tetapi tetap mampu memisahkan dengan tajam mana yang pada dasarnya salah maupun benar. Kasus-kasus nyata sehari-hari dari yang sederhana hingga yang komplek perlu didiskusikan .
Misalnya, mencontek itu, dengan alasan apapun, tetap merupakan tindakan yang salah. Menolong teman mencuri barang karena sangat butuh uang tetap hal itu buruk. Sangat berbahaya bila yang mengucapkan slogan anti korupsi malah sangat piawai melakukannya. âMudah-mudahan ketika membaca, mereka (koruptor) bilang, âWah, ini gue banget yaâ¦â. Pemberantasan korupsi menjadi pekerjaan rumah luar biasa besar bagi kita semua.***